“TULISAN merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah kebudayaan. Di Indonesia, tulisan telah digunakan hampir 16 abad lamanya. Apabila tulisan tersebut dapat direkontruksi dengan baik, maka akan menjadi nilai tambah yang sangat penting dalam penyusunan sejarah peradaban di mana tulisan tersebut ditemukan.” Tulis filolog terkemuka Belanda, Johannes Gijsbertus (Hans) de Casparis (31 Mei 1916–19 Juni 2002).
Literasi merupakan elemen fundamental dalam kehidupan individu dan komunitas. Pada setiap tanggal 8 September, dunia memperingati Hari Aksara Internasional, sebuah momen yang menekankan pentingnya literasi untuk mencapai masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Pada tahun 2024, tema perayaan adalah Mempromosikan Pendidikan Multibahasa: Literasi untuk Saling Pengertian dan Perdamaian.
Tema ini menyoroti pentingnya pendidikan multibahasa dalam mencapai perdamaian abadi dan meningkatkan kebijakan serta sistem pembelajaran seumur hidup. Perayaan global akan mencakup konferensi, upacara penghargaan, dan pertemuan berbagai jaringan literasi di Yaounde, Kamerun, pada 9 dan 10 September 2024.
Literasi tidak hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga melibatkan pemahaman dan penguasaan terhadap budaya dan identitas lokal. Dalam konteks Indonesia, khususnya di Lampung, aksara Lampung memegang peran penting sebagai identitas lokal yang menunjukkan sejarah, kebudayaan, dan warisan leluhur. Dengan perkembangan zaman, aksara ini mengalami tantangan dalam pelestariannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari urgensi melestarikan aksara Lampung sebagai bagian dari upaya memperkuat identitas lokal dan menjaga keberagaman budaya.
Aksara Lampung adalah salah satu bentuk aksara kuno yang pernah digunakan di wilayah Sumatera Selatan, khususnya di Lampung. Sebagai bagian dari kebudayaan Sumatera, aksara ini memiliki hubungan erat dengan aksara-aksara lain yang berkembang di wilayah Sumatera, seperti aksara Rejang, Rencong, dan Ka-Ga-Nga. Sebelum pembentukan Provinsi Lampung pada 1964, Lampung merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Bagian Selatan, yang juga meliputi Palembang, Bangka Belitung, dan Bengkulu. Bahasa-bahasa di wilayah ini memiliki kekerabatan yang kuat dan pernah menggunakan aksara-aksara serupa untuk mencatat tradisi dan budaya mereka.
Dalam penelitian sejarah, ditemukan bahwa aksara Lampung dan aksara-aksara lainnya di Sumatera merupakan turunan dari aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara Pallawa mulai masuk ke Sumatera sekitar abad ke-7 Masehi, pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Sejak saat itu, aksara ini mengalami berbagai modifikasi dan adaptasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi, yang pada abad ke-9 Masehi mulai menghilang dan digantikan oleh bentuk aksara lokal lainnya, termasuk aksara Lampung. Ini menunjukkan bahwa Sumatera, termasuk Lampung, telah lama memiliki tradisi literasi yang kuat dan terhubung dengan peradaban besar di Asia.
Dengan masuknya Islam pada abad ke-14, aksara-aksara lokal seperti aksara Lampung mengalami perubahan. Aksara Jawi, yang merupakan adaptasi dari aksara Arab dengan tambahan huruf-huruf yang sesuai dengan bunyi bahasa Melayu, mulai mendominasi tulisan-tulisan di wilayah Sumatera ketika bahasa Arab digunakan dalam manuskrip keagamaan, termasuk penyalinan Al Qur’an (Masyhur 2018).
Hubungan erat antara aksara Jawi dan bahasa Arab menjadikan aksara ini media utama dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Aksara Jawi memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan agama dan memperluas akses terhadap literatur keislaman, terutama di Sumatera yang menjadi pusat penyebaran Islam. Aksara ini berkembang pesat di Kesultanan Pasai dan menyebar ke wilayah Melayu lainnya, seperti Aceh, Johor, Melaka, hingga Lampung, tidak hanya dalam kegiatan keagamaan tetapi juga sebagai media dakwah (Dita Hendriani 2017). Meski aksara Jawi banyak menggantikan aksara lokal, aksara Lampung tetap bertahan dan masih digunakan hingga saat ini, meskipun dalam lingkup yang lebih terbatas.
Upaya pelestarian aksara Lampung sangat penting dalam konteks literasi dan identitas lokal. Aksara merupakan cerminan dari jati diri suatu masyarakat. Ia mengandung nilai-nilai budaya, sejarah, dan kebijaksanaan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sayangnya, modernisasi dan globalisasi sering mengancam keberadaan aksara-aksara tradisional. Di beberapa daerah, aksara lokal seperti aksara Lampung hanya diajarkan secara terbatas di sekolah-sekolah, dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari semakin jarang. Padahal, pelestarian aksara lokal bukan hanya soal melestarikan tradisi, melainkan juga soal menjaga kebhinekaan budaya dan identitas nasional.
Sebagai contoh, di Lampung sendiri, berbagai upaya pelestarian aksara Lampung telah dilakukan. Pengajaran aksara ini di sekolah-sekolah menjadi salah satu cara untuk mengenalkan generasi muda pada warisan leluhur mereka. Namun, tantangan yang dihadapi cukup besar. Banyak generasi muda yang lebih tertarik pada budaya modern dan teknologi digital sehingga aksara Lampung sering dianggap ketinggalan zaman. Dalam hal ini, perlu ada pendekatan kreatif dan inovatif untuk membuat aksara Lampung lebih relevan dan menarik bagi generasi saat ini. Misalnya, aksara Lampung dapat digunakan dalam desain-desain modern atau dalam media sosial untuk menarik minat generasi muda.
Selain itu, pelestarian aksara Lampung juga dapat menjadi bagian dari upaya literasi yang lebih luas. Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, melainkan juga tentang memahami identitas budaya dan sejarah. Aksara Lampung dapat menjadi alat untuk mengajarkan literasi yang lebih mendalam kepada masyarakat, khususnya dalam memahami dan menghargai warisan budaya mereka sendiri. Dengan demikian, aksara Lampung tidak hanya menjadi simbol identitas lokal, tetapi juga menjadi sarana untuk meningkatkan literasi budaya.
Dalam konteks Sumatera, aksara juga berperan dalam membentuk identitas lokal dan nasional. Naskah-naskah kuno yang ditulis dalam aksara Lampung, Rencong, dan Ka-Ga-Nga bukan hanya sekadar dokumen sejarah, melainakn juga merupakan cermin dari jati diri masyarakat setempat. Aksara-aksara ini adalah bukti bahwa Sumatera telah lama menjadi pusat peradaban dengan tradisi literasi yang kuat. Oleh karena itu, pelestarian aksara di Sumatera, termasuk aksara Lampung, menjadi penting dalam upaya memperkuat identitas lokal di tengah arus globalisasi.
Melestarikan aksara Lampung tidak hanya tentang menjaga warisan budaya, tetapi juga tentang memperkuat identitas lokal di era modern. Aksara ini adalah cermin dari sejarah, kebudayaan, dan jati diri masyarakat Lampung yang telah berkembang selama berabad-abad. Dengan memperingati Hari Aksara Internasional setiap 8 September, kita diingatkan akan pentingnya literasi dalam menciptakan masyarakat yang lebih literat dan inklusif.
Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, melainkan juga soal memahami dan menghargai identitas budaya lokal. Upaya pelestarian aksara Lampung harus menjadi bagian dari agenda literasi yang lebih luas agar warisan budaya ini tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang. *