AMERIKA Serikat akan melaksanakan pemilihan presiden pada 5 November 2024. Pilpres AS seperti sebelum-sebelumnya akan diikuti oleh dua pasangan kandidat utama dari dua partai politik terbesar di AS, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik.
Donald Trump sebagai mantan Presiden ke-45 AS memilih untuk kembali maju dan telah ditetapkan oleh Partai Republik sebagai calon presiden berpasangan dengan Senator AS dari Ohio J.D. Vance. Di pihak lain, Wakil Presiden AS saat ini, Kamala Harris, maju sebagai calon presiden menggantikan Presiden AS Joe Biden yang mundur dari pencalonan di tengah jalan setelah sudah melaksanakan kampanye dan bahkan melakukan debat publik pertama melawan Trump pada 27 Juni 2024. Kamala memilih Gubernur Minnesota Tim Walz sebagai calon wakil presiden dari Partai Demokrat.
Gaya Kampanye Trump
Donald Trump masih membawa retorik dan gaya kampanye dengan slogan “Make America Great Again” yang ia terapkan dalam periode pertamanya memimpin dengan gaya kebijakan AS yang mengutuk konsep intervensi berlebih AS di kancah global, kebijakan imigrasi, perdagangan, dan nation building. Dalam penerapannya, Presiden Trump selama kampanye selalu mengonseptualisasikan posisi AS di bawah pemerintahan Presiden Biden tidak mengutamakan kepentingan domestik Amerika Serikat.
Selama masa kampanye, Trump kerap mengkritik kebijakan-kebijakan AS selama dipimpin Presiden Biden, antara lain konflik global yang terjadi selama Biden memimpin seperti invasi Rusia ke Ukraina dan perang-invasi Israel-Palestina di Gaza yang menurut pandangannya akan membuat dunia semakin dekat dengan Perang Dunia Ke-3.
Trump juga kerap mencemooh kondisi kesehatan Biden yang menurun dan tetap meyakini kebijakannya lebih baik, seperti pembatasan imigran, pencari suaka, dan pengungsi. Presiden Trump terkenal dengan kebijakan ketat dan menerapkan zero-tolerance policy bagi mereka yang masuk ke Amerika Serikat tanpa identitas dan proses izin yang jelas. Ia mengantagoniskan imigran Meksiko sebagai ancaman ekonomi dan imigran Islam sebagai ancaman teroris radikal.
Berbeda dengan Presiden Biden. Dalam perjalanan pemerintahan yang ia pimpin, Presiden Biden memiliki fokus pada penguatan kebijakan Partai Demokrat, seperti “The Affordable Care Act” ditandai dengan rekor baru di pemerintahannya yang mendaftarkan lebih dari 20 juta penerima bantuan kesehatan nasional di masa kepemimpinannya. Serta fokus lain seperti pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 melalui pembenahan program vaksin.
Pemerintahan Biden-Harris di awal transisi sudah menghadapkan tantangan serius terkait penolakan hasil pemilu oleh Donald Trump dan pendukung konservatifnya yang menyebut bahwa Pilpres AS 2020 adalah fraud election yang menyebabkan protes, penerobosan, dan perusakan di Gedung Capitol, tempat para senator dan anggota DPR Amerika Serikat merumuskan bills/law yang berlaku.
Kamala Harris
Slogan kampanye “We Are Not Going Back” ini digunakan sebagai respons Kamala Harris dan Partai Demokrat terkait proposal Project 2025 yang diinisiasi oleh lebih dari 100 organisasi konservatif di AS. Beberapa pencetusnya memiliki kedekatan politis dengan Presiden Trump ketika ia menjabat.
Tujuan dari Project 2025 berdasarkan dokumen yang diterbitkan memiliki empat tujuan utama: mengembalikan posisi keluarga di Amerika sebagai fondasi utama negara, menjauhkan posisi negara dari fungsi sebagai negara administrasi, mempertahankan kedaulatan negara dan perbatasan AS, dan mengunci hak individual secara bebas sebagai pemberian tuhan.
Manifestasi dari proposal kebijakan ini diinterpretasikan oleh kelompok liberal dan progresif sebagai kemunduran bagi negara karena negara dianggap mengintervensi kebebasan individual seperti hak aborsi, hak menentukan gender, hak mendapatkan jaminan kesehatan gratis dan aspek lainnya.
Kamala Harris-Tim Walz di berbagai safari politik mereka tidak memosisikan diri sebagai incumbent, tetapi sebagai penantang dari proyek-proyek kebijakan konservatif AS sehingga posisi yang mereka ambil adalah sebagai kandidat baru dengan slogan politik “The Promise and Freedom of America”. Kerap kali juga implikasi dari orasi-orasi politik mereka bertujuan membawa Amerika Serikat ke arah masa yang lebih baru (The Future of America).
Siapa Berpeluang Menang?
Berbeda dengan perpolitikan di Indonesia, perpolitikan di Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh performa kandidat dalam berorasi, berdebat, dan memunculkan diskursus substansial. Parameter ini menjadi pertimbangan utama pemilih dalam memilih kandidat favorit mereka lewat implikasi kebijakan mana yang dikira lebih berdampak bagi kehidupan masyarakat.
Patut diingat, Pemilihan Presiden Amerika Serikat menggunakan sistem elektoral, bukan sistem popular vote sehingga jika pun satu kandidat tidak mendapatkan suara masyarakat yang lebih banyak bukan berarti ia akan kalah, karena kandidat yang memenangkan suara terbanyak di masing-masing negara bagian akan mendapat suara elektoral yang berbeda-beda. Misalnya, California mendapat jatah 54 suara elektoral, Texas (40), Florida (30), Kansas (6), Kentucky (8), New York (28), Louisiana (8), dan lain-lain.
Hal ini dapat terlihat di Pilpres AS 2016 kendati Hillary Clinton (kandidat Demokrat) berhasil meraup 65 juta suara lebih dari masyarakat AS dibandingkan Donald Trump (kandidat Republik) dengan 62 Juta lebih suara, tetapi Donald Trump-Mike Pence yang berhasil memenangkan pilpres karena secara hitung-hitungan suara elektoral Trump meraup 306 berbanding 232 milik Hillary.
Kamala Harris yang muncul sebagai kandidat pengganti Joe Biden cukup mengubah polling elektoral di beberapa survei yang dilakukan. Sebelumnya pada Pilpres AS 2024 condong akan dimenangkan Trump daripada Biden, sekarang justru memunculkan argumen bahwa Harris akan memenangkan Pilpres 2024.
Penulis lantas berargumen bahwa Kamala Harris-Tim Walz akan memenangkan Pilpres AS 2024 dengan mengunci beberapa suara elektoral dari negara bagian swing states, seperti Pennsylvania (19), Michigan (15), Wisconsin (10), dan Virginia (13) atau bahkan Georgia (16). Dua negara bagian pertama dipimpin oleh dua Gubernur Partai Demokrat, Josh Shapiro dan Gretchen Whitmer, yang keduanya sangat vokal mengampanyekan Harris-Walz di beberapa kesempatan.
Hal ini juga didukung dari diuntungkanya Harris-Walz dalam meraup suara gen Z atau anak muda karena lelahnya masyarakat AS dengan model kampanye retorik Trump sejak 2016 dengan slogan-slogan konservatifnya. Ditambah pemilihan J.D. Vance sebagai kandidat wakil yang tidak menambah gaya gedor Partai Republik untuk pilpres kali ini. Berbanding terbalik degan Harris-Walz di safari politik mereka yang mengadopsi gaya fresh dan politik riang gembira yang memusatkan perhatian pada perlawanan terhadap kemunduran Amerika lewat proyeksi Project 2025.
Meski demikian, kemenangan Harris-Walz tidak akan terlalu besar marginnya karena patut diingat Donald Trump adalah kandidat yang popular dan kuat dapat dibuktikan kendati dengan berbagai kasus hukum yang menerpanya. Konsistensi basis pendukung Partai Republik masih menaruhkan harapan pada Trump untuk kembali memimpin Amerika Serikat ditambah negara-negara bagian basis Trump dan Republik juga masih condong untuk memberikan raupan suara elektoral bagi Trump, seperti Texas (40), Florida (30), Ohio (17), dan Indiana (11). *