ERANYA berubah. Dan memang sudah harus berubah. Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Nadiem Anwar Makarin menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan, banyak orang meragukan kemampuannya. Anak muda yang belum kenyang menimba ilmu, bisa-bisanya memimpin kementerian yang kini membawahi perguruan tinggi.
Mungkin selama ini kementerian yang mengelola ribuan profesor doktor baik jebolan dari luar negeri maupun dalam negeri, guru, mahasiswa, dan siswa harus dipimpin dari kalangan kampus. Sebut saja di era Orde Baru, ada nama Daud Yusuf, Fuad Hasan, Wardiman Djoyonegoro. Terakhir Anies Baswedan dan Muhadjir Effendy. Semua bertitel guru besar.
Kini kementerian yang menentukan arah masa depan manusia negeri ini dipimpin sosok anak muda. Dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf, Nadiem tergolong berusia sangat muda. Publik seisi republik ini kaget dibuatnya. Apalagi Nadiem tidak memiliki latar belakang sebagai pendidik.
Adalah Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), M Ramli Rahim skeptis terhadap anak muda yang akan memimpin kementerian. “Nadiem memang alumnus Brown University dan Harvard Business School Amerika, namun dia belum tentu tahu peta pendidikan,” ujar dia. Sukses di Go-Jek belum tentu bisa dipakai di dunia pendidikan yang penuh masalah ini.
Bahkan, temanku di Universitas Lampung (Unila) bergelar doktor sangat pesimistis hingga membuat lelucon di grup WhatsApp, “Jangan-jangan mau membayar uang kuliah pakai Go-Pay,” kata dia. Hadirnya Nadiem memimpin Kemendikbud menghentak dinding kampus. Selama ini, kebiasaan yang tidak tertulis bahwa Kemendikbud harus diisi dari kalangan kampus.
Nadiem sebagai seorang penggagas aplikasi on-demand Go-Jek. Juga chief executive officer (CEO) perusahaan yang menguasai pasar transportasi di Indonesia itu, belum bisa diterima para guru besar dan pendidik. Alasan apa, Nadiem bisa-bisanya menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan?
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), M Ramli Rahim skeptis terhadap anak muda yang akan memimpin kementerian.
Selama ini Kemenristek dan Dikti saja belum mampu mendorong profesor untuk aktif menulis. Ini sebuah persoalan. Sementara guru besar sudah mengantongi tunjangan profesi mencapai puluhan juta rupiah setiap bulan. Ini serius yang dihadapi perguruan tinggi!
Aplikasi Science and Technology Index (Sinta) Ristekdikti mencatat angka persoalan tersebut selama tiga tahun terakhir. Per akhir 2017 saja, ada 1.551 profesor yang karyanya memenuhi syarat. Padahal jumlah profesor yang mendaftar 4.200 orang. Belum lagi untuk lektor kepala. Dari 17.133 orang yang mendaftar hanya 2.517 orang yang lolos memenuhi syarat publikasi. Semua terhambat karena peraturan. Mampukah Nadiem memberikan solusinya?
Saat ini, Nadiem akan mengelola orang pinter seperti dosen berjumlah 283.653 orang. Untuk guru berjumlah 2.755.020 orang yang tersebar di SD, SMP, SMA-SMK, dan SLB. Janganlah menteri berganti, akan berganti pula buku pelajaran. Kurikulum yang tidak membumi menimbulkan persoalan baru. Pastikan kurikulum terus berubah mengikuti zaman, tapi mampu menjawab permintaan dunia kerja.
Adakah kesombongan intelektual di situ? Tidak mau menerima perubahan. Faktanya, lulusan sekolah menengah atas dan kejuruan tidak bisa bekerja karena memang tidak dilatih mandiri. Belum lagi penguasaan bahasa dan keahlian. Inilah pendidikan yang dihadapi Indonesia.
Untuk itu pula Jokowi mencari sosok baru memimpin Kemendikbud. Sang Presiden yang disuka milenial, lebih suka memilih anak-anak yang segar dan tidak banyak teori dalam menjalankan tugas.
***
Iya negeri ini sudah merdeka 74 tahun. Berkata jujur bahwa Indonesia kaya raya, tapi negeri ini belum menjamin anak bangsa bersaing menjawab pasar tenaga kerja. Di tengah kegalauan dosen dan guru tadi juga, Nadiem sangat tahu persis persoalan pendidikan di negeri ini. Nadiem sangat mengerti tentang apa yang ada di masa depan pendidikan.
Kata Nadiem, pendidikan di Indonesia berada di urutan terbesar keempat di dunia. Namun belum banyak perubahan 20—30 tahun terakhir meskipun mendikbud dan menristek-dikti sudah membuat banyak kemajuan. “Saya mencoba menyambungkan apa yang dilakukan institusi pendidikan dengan yang dibutuhkan di luar institusi pendidikan,” kata dia.
Faktanya, lulusan sekolah menengah atas dan kejuruan tidak bisa bekerja karena memang tidak dilatih mandiri.
Contoh nyata yang dihadapi dunia pendidikan adalah lembaga pendidikan sendiri tidak lagi menjadi sumber kebenaran tunggal. Tanpa dirasakan–perlahan tapi pasti, guru kehilangan wibawa. Begitu juga orang tua sudah tidak lagi jadi sumber panutan di rumah. Anak-anak didik lebih percaya pada sang Google daripada gurunya. Tidak percaya? Silakan dites!
Sebagai pendiri aplikasi layanan serba-online yang sukses, mampukah Nadiem menghadapi pengaruh global di dunia pendidikan. Teknologi tidak bisa dihindari. Bahkan, harus dibuat akrab. Keluarga dan sekolah adalah pembentuk karakter anak didik di bawah kekuasaan teknologi saat ini.
Ini yang tidak disadari oleh kaum pendidik. Skeptis dengan perubahan. Saatnya beradaptasi dengan segala perubahan. Perubahan itu diakibatkan oleh digital. Pengaruh teknologi sudah merasuki sumsum anak-anak muda. Sumber kebenaran telah beralih ke media digital dengan beragam bentuk.
Dengan begitu, persoalan pendidikan menyisakan persoalan yang akan dijawab dengan digital. Seperti penerapan sistem zonasi masih terjadi pro dan kontra di masyarakat. Belum lagi, ketimpangan kesejahteraan guru dan sebaran di daerah. Masih ada guru honorer menunggu untuk diangkat.
Dan di daerah, guru honorer masih berpenghasilan Rp200 ribu—Rp300 ribu per bulan. Sementara beban kerja dengan penghasilannya tidak seimbang.
Problem besar yang dihadapi dunia pendidikan di negeri ini juga–masih terjadi ketimpangan kualitas guru antara kota dan daerah, pemerataan sarana-prasarana. Apalagi urusan pendidikan kini menjadi tanggung jawab daerah. SD dan SMP milik kabupaten/kota, SMA menjadi kewenangan provinsi. Harusnya urusan pendidikan menjadi satu kesatuan.
Dengan berbekal pendidikan luar negeri serta pengalaman memimpin perusahaan fenomenal— bernama Go-Jek, Nadiem dinilai mampu untuk menuntaskan problem pendidikan. Milenial menanti pemikiran out of the box Nadiem untuk memajukan pendidikan dari Aceh hingga Papua.
Standar pendidikan yang belum tuntas itu pula akan diselesaikan. Dengan cara-cara pengalaman digital, “sang profesor” Nadiem sudah terbukti dan mampu membuka lapangan kerja bagi rakyat menjadi mandiri. Karya Nadiem juga sudah merambah ke negara tetangga, serta menumbuhkan semangat percaya diri bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. ***