
POLITIK itu seni. Politik itu sangat dinamis. Politik itu juga sarat dengan kepentingan. Tidak ada teman yang abadi dalam politik. Yang abadi itu hanyalah kepentingan bersama. Jika tidak piawai bermain politik dan salah arah, bersiap-siap akan terjerembap.
Ingat! Komunikasi dalam berpolitik tidak pernah berakhir dengan tanda titik (.). Tapi lebih kepada tanda koma (,) dengan segala kepentingannya. Itu dirasakan sekali banyak pasangan bakal calon.
Seperti bakal calon wali kota dan bakal calon wakil wali kota Bandar Lampung, Eva Dwiana dan Dedi Amrullah. Juga bakal calon bupati dan wakil bupati Way Kanan Raden Adipati Surya dan M Ali Rahman.
Awalnya Eva-Dedi diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Detik-detik terakhir, pasangan ini harus berlapang dada karena PKS mengalihkan dukungan kepada calon lain, yakni Rycko Menoza-Johan Sulaiman.
Begitu juga pasangan Raden Adipati Surya dan Ali Rahman yang tadinya diusung PDI Perjuangan beralih kepada Juprius dan Rina Marlina.
Di sela-sela peringatan HUT ke-74 RI, Ketua PKS Bandar Lampung, Aep Saripudin memberikan pernyataan menyejukkan untuk pasangan Eva dan Dedi. Di hari kemerdekaan PKS memberikan hadiah surat rekomendasi, kata dia. “Alhamdulillah, hari ini Bunda Eva dan Bang Dedi dipanggil DPW untuk menerima surat keputusan (SK). Tinggal menjelang pendaftaran akan diberikan B1-KWK,” kata Aep, Senin (17/8) malam.
Melalui surat keputusan itu, kata Aep lagi, PKS ingin terus berkontribusi membangun Bandar Lampung menjadi kota modern dan sejahtera bersama Eva-Dedi. Belakangan, PKS beralih kepada Rycko. PKS punya alasan mendukung Rycko. PKS menyandingkan kadernya—Johan sebagai calon wakil Rycko.
Itulah politik. Berpikir dan bersikap sangat pragmatis. Kalau memperoleh dua poin mengapa harus bertahan satu poin. Dan wajar-wajar saja. Nasib yang sama dialami Adipati-Ali Rahman. Pasangan di Way Kanan ini digadang-gadang PDI Perjuangan dengan surat keputusan.
Hari-hari terakhir, partai kepala banteng bermulut putih ini mengalihkan dukungan kepada Juprius-Rina. Diketahui, Rina adalah istri Bustami Zainudin yang juga mantan ketua PDI Perjuangan Way Kanan. Sebagai bekas ketua, Bustami memiliki jaringan luas di pusat kekuasaan PDI Perjuangan untuk mengubah dukungan. Politik penuh intrik dan strategi.
Alasan PDI Perjuangan mengalihkan dukungannya untuk menciptakan demokrasi yang sehat dengan alternatif pilihan calon. Kebanyakan orang memprediksi bahwa pilkada di Way Kanan itu melawan kotak kosong. Terakhir diikuti dua pasangan calon.
Berbeda di Pesawaran. Partai besutan Megawati Soekarnoputri tidak mendukung kadernya, M Nasir. PDI Perjuangan lebih memilih pasangan Dendi-Marzuki. Calon wakilnya Dendi, yakni Marzuki adalah kader internal. Peta pencalonan di kabupaten ini berubah sangat dramatis.
Nasir dicopot DPP dari jabatan ketua PDI Perjuangan Pesawaran. Dia pun harus mundur dari kursi ketua dan anggota legislatif karena persyaratan pencalonan. Begitu banyak pengorbanan yang dipertaruhkan seorang Nasir untuk mengikuti pesta demokrasi di Pesawaran kali ini.
Nasir berpasangan dengan Naldi Rinara mengikuti pesta yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai NasDem. “Yang jelas saya tetap maju di pilkada. Doakan saja semoga lancar,” tegas Nasir. Pengganti Nasir menjadi ketua adalah Endro S Yahman, anggota DPR.
***
Perubahan dukungan terjadi juga di Partai NasDem Kota Metro. Tadinya, NasDem mendukung pasangan bakal calon wali kota dan calon wakil wali kota Metro Anna Morinda—Fritz Akhmad Nuzi. Terakhir, diberikan kepada pasangan Ahmad Mufti Salim dan Saleh Chandra. NasDem memiliki alasan kuat untuk mendukung Mufti, ketua PKS Lampung ini.
Bongkar pasang pencalonan kepala daerah juga dialami Partai Golkar. Di Pesisir Barat, awalnya Golkar mendukung pasangan Kherlani-Erlina. Menjelang penetapan, Kherlani mundur dari pencalonan. Akhirnya, Golkar berpaling kepada Pieter-Fahrurazi yang didukung PDI Perjuangan. Erlina sendiri sebagai wakil berpasangan dengan Aria Lukita dari Demokrat.
Politik last minute mewarnai pilkada serentak di Lampung. Ini menjadi tradisi lima tahunan ketika partai mengolah—menggoreng calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selalu ada yang mengumumkan di detik-detik terakhir menjelang pendaftaran.
Partai bermanuver dengan segala alasan dan pertimbangannya. Bisa juga langkah kehati-hatian atau bagian siasat dan taktik untuk kemenangan pada hari pencoblosan. Dengan mengumumkan calon di menit terakhir, partai hendak mengacaukan skenario lawan tarung.
Tapi, ada juga partai kehilangan momen karena banyak perhitungan. Atau sejatinya partai tidak memiliki calon yang mumpuni. Manuver ini sangat merugikan pemilih rasional. Yang jelas, kian menegaskan bahwa partai sudah gagal melakukan fungsi kaderisasi. Ini terlihat banyaknya bongkar pasang calon yang didukung lalu dibatalkan. Alamak mainan apa ini!
Menjelang pendaftaran–paling mengejutkan terjadi di Metro. Bakal calon, Djohan yang digadang-gadang Partai Demokrat untuk maju sebagai bakal calon wali kota berpasangan Ida Jaya kandas sebelum berlayar.
Kamis (3/9) malam, kendati Djohan sebagai ketua Demokrat Metro, harus menelan pil pahit. Partainya mengalihkan dukungan kepada Anna-Fritz yang sudah diusung PDI Perjuangan. PAN yang tadinya mendukung Djohan-Ida, mengurungkan niatnya, lalu berpaling memilih calon Golkar, yakni Ampian Bustami-Rudi Santoso.
“Politik sangat dinamis. Untuk Pilkada Metro, PAN mendukung pasangan Ampian-Rudi,” kata Ketua PAN Lampung Irham Djafar Lanputra. Paling tidak, banyak faktor yang menyebabkan partai membongkar pasangan calon kepala daerah yang akan bertarung di pemilihan nanti.
Faktor penyebab bongkar pasangan itu, antara lain modal dasar elektoral pasangan calon. Maksudnya, partai memperhitungkan tingkat elektabilitas, popularitas, penerimaan publik terhadap calon yang didukung.
Faktor lainnya adalah solid atau tidaknya para tim pemenangan partai dan sukarelawan yang bekerja di lapangan. Mesin partai kebanyakan tidak bergerak. Pasangan calon lebih memfungsikan sukarelawannya untuk menembus pemilih.
Pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini sepertinya mengesampingkan hasil survei. Yang ada hanyalah harga diri agar tetap berlayar. Atau bagian dari strategi kemenangan. Di sisi lain, partai juga abai dengan tidak berhitung dengan konstelasi politik untuk pemilihan gubernur Lampung mendatang.
Sangat wajar jika ada politikus memprediksi bahwa calon yang bertarung pada 9 Desember nanti bakal berivalan dalam pemilihan gubernur 2024. Bongkar pasang pilkada 2020 ini, sepertinya adu strategi pemanasan awal bagi pelaku politik untuk tahun 2024 baik pemilihan presiden, gubernur, maupun anggota legislatif. Kita lihat saja nanti! ***