KORUPSI bagai sel-sel kanker yang menggerogoti sekujur tubuh negeri ini. Satu berhasil diangkat, ribuan sel lain dengan cepat menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Tindakan korupsi melibatkan anasir dari pemerintah pusat hingga daerah, termasuk Lampung. Pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi merilis data Provinsi Lampung menduduki peringkat kedelapan kasus korupsi instansi/provinsi di Indonesia sepanjang 2014—2019. Hal itu terungkap saat agenda koordinasi dan diskusi interaktif ketua KPK dengan gubernur se-Indonesia secara daring di Jakarta.
Peringkat korupsi pertama ditempati Pemerintah Pusat (359 kasus), Jawa Barat (101 kasus), Jawa Timur (85 kasus), Sumatera Utara (64 kasus), DKI Jakarta (61 kasus), Riau dan Kepulauan Riau (51 kasus), Jawa Tengah (49 kasus), Lampung (30 kasus), Banten (24 kasus), serta Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Bengkulu, Papua (22 kasus).
Di Lampung setidaknya ada lima kepala daerah yang berurusan dengan KPK, yakni Lampung Selatan, Lampung Utara, Lampung Tengah, Mesuji, dan Tanggamus. Empat kasus sudah divonis dan satu masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjungkarang. Masih ada tiga lagi kepala daerah yang juga terjerat kasus korupsi, yaitu Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan.
Lazimnya, tindak korupsi didominasi komisi pengadaan barang dan jasa. Kongkalikong itu melibatkan kepala daerah, anggota legislatif, dan pengusaha. Bentuk korupsi lain dilakukan dalam kebijakan rotasi, mutasi, rekrutmen pegawai, pemberian izin usaha, izin tambang, penggelembungan nilai proyek, dan ketuk palu pengesahan anggaran daerah.
Ujaran lama menyebutkan kekuasaan itu cenderung korup, tetapi saat ini kekuasaan dan korupsi sudah berada dalam satu tarikan napas yang sama. Boleh jadi kasus yang terungkap hanya puncak gunung es. Ada banyak jenis korupsi lain yang sulit diproses hukum karena aparat hukum kesulitan melacak alat bukti.
Dari upaya pencegahan, sebenarnya Lampung memiliki Peraturan Gubernur Nomor: 35 Tahun 2019 tentang Implementasi Pendidikan Anti-Korupsi. Sosialisasi anti-korupsi dimulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA. Seluruh siswa yang lulus pendidikan dan pelatihan diharapkan dapat menjadi generasi penerus yang tidak mudah terjerumus pada tindak korupsi. Sekaligus, menyebarkan pengetahuan anti-korupsi kepada khalayak luas.
Namun, upaya pencegahan itu tidak akan efektif jika para koruptor divonis ringan. Dalam sejumlah perkara, vonis hakim belum mencerminkan efek kejut dan efek jera. Sanksi hukuman mati pun belum tentu efektif bagi para koruptor yang lebih takut miskin dan gemar merawat eksistensi. Perlu terobosan baru semisal pemiskinan, pencabutan hak politik seumur hidup, dan hukuman kerja sosial.