SETIAP tanggal 22 Oktober kita memperingati Hari Santri Nasional. Peringatan ini bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan juga momentum untuk mengenang dan merefleksikan kontribusi besar para santri dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia. Santri bukan hanya mereka yang belajar di pondok pesantren, tetapi juga mereka yang mengabdikan hidupnya untuk menegakkan nilai-nilai Islam, membangun masyarakat, dan menjaga kedaulatan bangsa.
Tema Hari Santri tahun 2024, Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan, mengandung makna mendalam yang relevan dengan kondisi saat ini. Tema ini mengingatkan kita untuk terus melanjutkan semangat juang para pendahulu dan bergerak bersama menuju masa depan yang lebih baik. Dalam konteks ini, peran pondok pesantren, termasuk kontribusi tokoh seperti KH. Gholib di Pringsewu (baca juga opini Lampung Post, 21/8/24), menjadi contoh nyata bagaimana dakwah dan pendidikan Islam telah memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yang perannya sangat besar dalam pembentukan karakter umat Islam di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa pondok pesantren pertama kali muncul pada abad ke-14 hingga 15 M, ketika para Wali Songo memulai dakwah Islam di Pulau Jawa. Salah satu pondok pesantren tertua adalah Pesantren Ampel Denta yang didirikan oleh Sunan Ampel di Surabaya. Keberadaan pondok pesantren terus berkembang seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, seperti Samudera Pasai, Demak, Banten, dan Mataram Islam.
Pada abad ke-19, pondok pesantren mulai melembaga secara formal, dengan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai salah satu contoh paling berpengaruh. Keberadaan pesantren-pesantren ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat belajar agama, melainkan juga menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme, terutama di Jawa dan Sumatera. Para ulama dan santri kerap menjadi garda terdepan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan semangat jihad yang mengakar dalam keyakinan agama.
Di Lampung, menurut laporan Belanda Memorie Van Overgive Lampoengsche tahun 1932—1938, sudah berdiri sejumlah pondok pesantren dan madrasah yang aktif dalam pendidikan Islam dan dakwah. Salah satunya adalah Pondok Pesantren KH. Gholib di Pringsewu. Selain itu, terdapat beberapa lembaga lainnya, seperti Tarbiyahtul Islam di Panjang, Madrasah Islami Khawariyah di Telukbetung, Muawatul Khair Rabic School di Tanjungkarang, dan Sekolah Mohamadijah di Telukbetung. Sejarah ini menunjukkan bahwa Lampung memiliki tradisi pendidikan Islam yang kuat, pesantren berperan penting dalam menyebarkan ajaran Islam dan memperkuat identitas keagamaan masyarakat. (Setiawan dan Khoirudin, 2024).
Gholib merupakan salah satu ulama berpengaruh di Pringsewu yang memainkan peran sentral dalam dakwah dan pendidikan Islam di wilayah tersebut, khususnya antara tahun 1930 hingga 1945. Melalui pendirian Madrasah Salafiyah 1932, KH. Gholib memberikan akses pendidikan Islam kepada masyarakat secara gratis, suatu hal yang jarang terjadi pada masa itu. Ia juga tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pringsewu. Keberhasilan KH. Gholib dalam mendirikan madrasah ini didukung oleh usaha ekonomi yang ia rintis, seperti usaha penggilingan padi dan usaha transportasi, yang juga menjadi sumber pemberdayaan masyarakat sekitar (De Sumatra post, 1/6/1939).
Pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Gholib berkembang pesat dan menarik minat banyak santri, bahkan dari luar Pringsewu. Metode pengajaran berbasis hafalan dan kajian mendalam yang ia terapkan menjadi daya tarik utama bagi para santri. Namun, kesuksesan dakwah dan pendidikan yang dilakukan oleh KH. Gholib tidak luput dari perhatian pemerintah kolonial Belanda. Mereka berusaha mengganggu aktivitas dakwah dengan mendirikan sekolah pemerintah. Meskipun mendapat tekanan dari penjajah, KH. Gholib tetap teguh dalam misinya menyebarkan ajaran Islam. (Setiawan 2022)
Selain perannya dalam pendidikan, KH. Gholib juga berperan dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang. Sebagai ulama dan pemimpin pesantren, ia menjadi salah satu figur yang membangkitkan semangat perjuangan di Pringsewu, dengan landasan jihad fi sabilillah bersama laskar Hisbullah dan pasukan sabillah (baca juga opini Lampung Post, 21/8/24). Semangat perjuangan Islam inilah yang kemudian diwariskan kepada para santri dan menjadi fondasi bagi gerakan perlawanan di Lampung. Peran pesantren sebagai pusat dakwah dan perlawanan melawan penjajah inilah yang menjadikan lembaga ini sebagai elemen penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Tema Hari Santri Nasional tahun ini, Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan, sangat relevan dengan peran yang telah dimainkan oleh KH. Gholib dalam dakwah dan pendidikan Islam. Semangat juang yang diwariskan oleh KH. Gholib masih terus relevan hingga saat ini. Meskipun masa penjajahan telah berakhir, tantangan yang dihadapi oleh santri dan umat Islam di Indonesia terus berkembang. Tantangan dalam menjaga nilai-nilai agama, memperkuat pendidikan Islam, serta menjaga persatuan di tengah arus modernisasi dan globalisasi merupakan bentuk perjuangan yang harus terus dilanjutkan.
Pondok pesantren, seperti yang didirikan oleh KH. Gholib, masih memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia saat ini. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan umat. Beberapa pesantren bahkan telah berhasil dalam memberdayakan ekonomi umat melalui pengelolaan koperasi dan usaha lainnya. Selain itu, pesantren juga telah memainkan peran dalam penguatan kerukunan antarumat beragama dan peningkatan peran perempuan dalam masyarakat.
Tema Hari Santri Nasional, Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan, mencerminkan semangat juang yang diwariskan oleh KH. Gholib kepada generasi muda santri saat ini. Perjuangan dalam menjaga nilai-nilai agama dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik adalah amanah yang harus terus dilanjutkan. Pesantren, sebagai lembaga yang telah terbukti berperan dalam pendidikan dan pemberdayaan umat, tetap menjadi benteng utama dalam menjaga dan menyebarkan nilai-nilai luhur agama Islam. *