PADA abad ke-13 Masehi, tarekat-tarekat sufi mulai bermunculan di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan adanya perdagangan yang menghubungkan laut India dan Laut Tiongkok. Kendati Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi melalui jalur maritim (perdagangan), tarekat-tarekat ini muncul sebagai stimulus penyebaran Islam di Indonesia. Pada saat itu Islam hanya menjadi agama pendatang yang berkumpul dalam komunitas-komunitas kecil di wilayah pesisir.
Pendekatan sufistik inilah yang membuat penduduk yang sebelumnya beragama Hindu-Buddha tertarik dan terbuka terhadap ajaran Islam (Agus Sunyoto, 2012: 42-43). Dapat dikatakan bahwa keberhasilan penyebaran Islam di Nusantara sangat dipengaruhi kegiatan dakwah tarekat dan tasawuf. Puncak proses islamisasi di Nusantara terjadi pada akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15, bertepatan dengan masuk dan berkembangnya berbagai tarekat dari India maupun dari Timur Tengah. Kehadiran tarekat-tarekat ini memperkuat spiritualitas masyarakat dan menjadi sarana penting dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara.
Abubaqar Aceh menyebutkan terdapat sekitar 41 ajaran tarekat di Indonesia. Sedangkan Nahdlatul Ulama melalui Jami’iyah Tarekat Mu’tabaroh al-Nahdhiyyinah mengatakan tarekat di Indonesia yang diakui keabsahannya hingga saat ini berjulah 46 tarekat. (Abu Bakar Aceh, 1992. 12)
Terdapat beragam tarekat yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Lampung. Di antaranya Tarekat Naqsyabandiyah yang menekankan pentingnya berzikir dan membaca Al-Qur’an secara teratur, Tarekat Qadiriyah dengan praktik tasawufnya yang menitikberatkan pada keterlibatan sosial dan kepedulian terhadap sesama, Tarekat Syattariyah yang juga berfokus pada amalan zikir mendalam, serta Tarekat Tijaniyah yang menekankan pada praktik doa dan meditasi.
Penyebaran Islam melalui tarekat di Lampung didominasi Tarekat Qadariyah dan Naqshabandiyah. Di antaranya seperti di Padangratu, Lampung Tengah, dengan Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah, di Adiluwih, Pringsewu, dengan tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, dan di wilayah Brajadewa, Way Jepara, Lampung Timur, dengan Tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah.
Dikutip dari laman lampung.nu.or.id, sosok kharismatik Kiai Nur Muhammad Busthamil Karim sudah tidak asing lagi bagi masyarakat dan nahdliyin Lampung. Kiai Bustham, sapaan akrabnya, adalah mursyid tarekat di Bumi Ruwa Jurai ini. Lahir di Lekong Wonoresik, Wonosari, Kebumen, Jawa Tengah, pada 1890.
Ketika remaja, Kiai Bustham mengenyam pendidikan di beberapa pondok pesantren di Jawa Tengah, seperti Pondok Pesantren Parakan Canggah Purbalingga, Pondok Pesantren Kemanggugungan Kroyo Cilacap, Pondok Pesantren Bogangin Sumpiyuh Banyumas, hingga berguru dan menjadi murid Kiai Busyro Banjarnegara. Kiai Bustham memasuki wilayah Lampung pada tahun 1952. Pertama kali ia singgah di Lambau Gisting, Lampung Selatan (sekarang Tanggamus). Kemudian menetap di Way Lunik, yang sekarang lebih populer dengan nama Kampung Purwosari, Padangratu, Lampung Tengah.
Kiai Bustham menyebarkan Islam dengan dua metode, yaitu metode dakwah secara individu dengan memberikan bimbingan rohani secara personal dan dakwah secara kolektif dengan silaturahmi khataman Al-Qur’an, manakiban, dan kegiatan sosial. Ia mewajibkan jemaah baru untuk salat tobat. Zikir menjadi syarat wajib yang harus dilaksanakan setiap hari oleh jamaah Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah di Padangratu (Agus Triyoga. 95-96).
Kiai Bustham membangun Masjid Al-Muttaqin dan Pesantren Raudlatus Sholihin dan banyak melahirkan ulama-ulama besar di Lampung maupun luar Lampung, seperti KH. Zainudin dari Belitang, OKU Timur, Sumatera Selatan.
Kemudian ada Kiai Syekh Imam Manaqib. Seorang mursyid Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Adiluwih, Pringsewu. Ia diangkat menjadi mursyid tarekat pada tahun 1970 oleh Kiai Djazuli yang sebelumnya telah mengajarkan Tarekat Naqsabandiyah di Adiluwih selama 20 tahun (Ismarzuqoh: 26-27).
Bagi calon jemaah Tarekat Naqsabndiyah Khalidiyah wajib dibaiat. Sebelum disahkan, jemaah tersebut diharuskan sowan kepada mursyid. Setelah mendapat izin selanjutnya mandi tobat dan berwudhu, lalu melaksanakan salat tobat. Selanjutnya berlanjut pada proses turu mayit mengingatkan pada kematian dengan tujuan mengingat Allah dan tahap terakhir adalah dibaiat.
Pada 1988, Syekh Imam Manaqib mendirikan Pondok Pesantren Zainul Manaqibil Islam (Zamais) yang di dalamnya terdapat bangunan masjid. Melalui Pesantren ini penyebaran Islam menguat dan banyak santri bermukim dari berbagai wilayah di Lampung dan sekitarnya.
Ulama tarekat selanjutnya ialah Ahmad Shodiq, yang lebih akrab disapa Mbah Shodiq. Ia berasal dari Pare, Kediri, Jawa Timur. Pengalaman pendidikannya adalah Madrasah Ibtidaiah Salafiyah, Madrasah Tsanawiah Salafiyah, dan Madrasah Aliah Salafiyah di Jawa. Ketika gagal masuk TNI, ia memutuskan melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Darussalamah, Kencong Pare, Kediri, Jawa Timur, selama sembilan tahun.
Kiai Shodiq pindah ke Lampung pada 1963 di wilayah Brajadewa, Way Jepara, Lampung Timur. Ia mengetahui kondisi Lampung sebagai wilayah strategis untuk berdakwah melalui adik kandungnya, Suroso, yang sebelumnya mengikuti program transmigrasi. Perjalanannya ke Lampung hanya dengan berbekal kitab-kitab yang beratnya mencapai kurang lebih 50 kg (Asibaweh). Setibanya di Lampung, ia bersama KH. Ismail berdakwah bersama.
Kepercayaan masyarakat terhadap Kiai Shodiq semakin kuat dengan diberikan tanah wakaf seluas setengah hektare. Mulanya jumlah santri mukim hanya berjumlah tujuh santri. Namun, dalam perkembangannya santrinya kini berjumlah ribuan. Dari pesantrennya tersebut banyak ulama yang kemudian lahir lalu mendirikan pesantren di kampung halamannya. Seperti KH. Syamsuddin Tohir mendirikan Pesantren Darul A’mal Metro, KH. Nur Daim mendirikan Pesantren Darussalamah, Bandaragung, KH. Muchsin Abdillah mendirikan Pesantren Darussa’adah Mojoagung, Gunungsugih.
Dalam pengajaran tarekat Kiai Shodiq menulis buku tuntunan tarekat berjudul Air Jernih. Kiai Shodiq juga aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama dan menjadi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung. Ia bahkan juga dikenal dekat dengan Gus Dur , hal itu dibuktikan dengan kunjungan Gus Dur ke pesantrennya beberapa kali (Kusraeli).
Demikian peran para ulama tarekat dalam penyebaran Islam di Lampung. Pendirian pesantren oleh para ulama tarekat ini menjadi tonggak awal berdirinya berbagai pesantren di Lampung dan sekitarnya. Hal ini membuat ajaran Islam makin kuat di Lampung dan menjadikan Lampung salah satu pusat pendidikan terbaik di Sumatera. *