PERS memperoleh angin baru. Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Banjarmasin, Sabtu (8/2) pekan lalu, menunjukkan keprihatinannya atas keberlangsungan masa depan pers. Padahal pers adalah bagian dari pilar demokrasi kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam pidato di depan duta besar dan masyarakat pers seluruh Indonesia itu, Jokowi menjanjikan regulasi baru di bidang digital untuk memproteksi dunia pers dari serangan berbagai platform digital. Hari ini, regulasi hanya mengatur media konvensional. Platform digital asing yang membanjiri itu menikmati keuntungan ekonomi tanpa sentuhan undang-undang.
Tidak sepeser pun pajak dari platform digital asing menetes untuk negeri ini. Mereka melenggang kangkung mengeruk keuntungan. Karena regulasi belum diatur itulah, platform digital asing dengan seenaknya mengambil kue iklan bahkan mengancam dunia pers.
Tanpa disadari anak-anak bangsa, platform digital asing memanfaatkan keluguan untuk mencari keuntungan. Chairman CT Corp, Chairul Tanjung ikut bersuara di acara rangkaian kegiatan HPN lalu. Dengan terbuka, dia mengatakan kue iklan media konvensional di era digital kian tergerus. Saat ini, pemasang iklan mencari platform digital yang mudah diakses pembaca.
Perilaku itu membuat media konvensional terancam. Hari ini, para artis dan tokoh publik ramai-ramai membuat platform digital untuk dirinya sendiri. Biaya murah dengan modal kreativitas, mereka mengantongi uang puluhan juta per bulan. Selama ini merogoh isi kocek dalam-dalam untuk promosi. Dunia pers di negeri ini harus sadar dengan kondisi di era digital ini.
Sikap tegas pemerintah disampaikan Presiden Jokowi di Banjarmasin itu, sebuah oase–pelepas dahaga di tengah terik padang pasir. Negara hadir di tengah kegalauan. Pers Indonesia sudah berhadapan dengan kapitalis yang tidak ada kata kompromi. Kekuatan platform digital asing sangat kokoh dan mapan. Melawan kapitalis dengan kreativitas.
Kehadiran negara sangat penting dan strategis. Dewan pers memfasilitasi pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Keberlanjutan Media, 21 Januari 2020 itu, untuk melepaskan belenggu dari kemapanan kapitalis asing. Berharap dari Pokja “Penyelamat Pers” mencari solusi dari keterpurukan bisnis media di era disrupsi.
Kekuatan platform digital asing sangat kokoh dan mapan. Melawan kapitalis dengan kreativitas.
Masyarakat pers menunggu kerja cerdas pokja ini. Rekomendasi regulasi harus mampu mengatur hubungan penerbit pers dan platform digital asing dan agregator berita. Jangan sampai orang yang berlabuh, temannya jadi tenggelam. Regulasi yang ditunggu-tunggu Jokowi adalah memperbaiki nasib pers terkait kerja sama konten, data, dan pembagian keuntungan.
Di era disrupsi itu juga, pemerintah sangat cerdas. Regulasi itu juga tidak membuat monopoli dari persaingan bisnis media. Tapi dari sisi pentingnya adalah membuat media agar sehat dan seimbang hidup di bumi Pancasila. Regulasi untuk multiplatform digital asing itu harus mampu menghadang dan memberantas virus hoaks yang sudah merambah media sosial.
***
Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Kesehatan dirugikan dengan maraknya berita bohong (hoaks) virus corona. Informasi hoaks diviralkan melalui media sosial–multiplatform digital. Harus disadari publik bahwa berita yang disajikan platform digital bukan karya jurnalistik yang mengutamakan verifikasi fakta dan data.
Era yang disebut post-truth, karena berita yang dipercaya bukan berita yang benar, akurat, dan berimbang, melainkan yang sesuai dengan persepsi kebenaran yang dianut publik. Semua orang memiliki kepentingan. Itulah mengapa menjelang pesta demokrasi, peristiwa penting, ada produsen virus hoaks dan ada konsumennya yang juga ikut menyebarkannya.
Tidak diragukan anak-anak bangsa sangat berpotensi dijangkiti virus hoaks. Jika jumlah pengguna internet mencapai 143 juta, dan 65% dari angka itu adalah anak dan remaja dengan durasi pemakaiannya delapan jam sehari. Maka sudah puluhan juta rakyat yang terpapar virus hoaks.
Virus itu tersebar di media sosial. Negeri ini membutuhkan kehadiran media yang mapan, bersikap jernih untuk melawan hoaks. Narasi yang didesain sengaja mengacaukan informasi itu disebarkan melalui media sosial–platform digital asing. Sadar atau tidak, hari ini kehidupan pers sangat ketergantungan dengan media sosial.
Ketergantungan itulah membuat kokohnya platform digital asing. Tidak terpikirkan ketika bisnis digital asing itu ambruk, maka rontoklah pers era digital. Makanya diperlukan regulasi digital asing. Ketua Dewan Pers Moh. Nuh pada acara HPN 2020, mengingatkan pers agar tidak tergelincir dalam persaingan di ruang siber atau dunia maya.
Negara perlu mengawal migrasi media kovensional ke siber. Jangan sampai media-media resmi berguguran karena tak mampu bersaing di era digital. Yang ada tumbuh subur media yang tidak jelas legalitasnya—cenderung menyajikan berita menyesatkan publik. Anak bangsa menunggu komitmen lahirnya regulasi yang menjamin keberlangsungan pers di tengah era digital.
Negeri ini membutuhkan kehadiran media yang mapan, bersikap jernih untuk melawan hoaks.
Bisnis pers di era digital tak hanya mengejar keuntungan semata, tapi lebih dari itu menjaga kehormatan sebagai alat perjuangan untuk mendirikan negara merdeka. Ketika itu pers menjadi kekuatan sumber inspirasi dan informasi. Seperti radio–sumber kekuatan menyiarkan suara Bung Karno membacakan naskah proklamasi bahwa Indonesia bebas dari penjajah.
Kini kehadiran pers kian tergeser. Ingat! Saat ini pers tidak lagi penyedia tunggal informasi bagi publik. Era digital, publik dapat membuat berita tandingan dan mengonsumsi informasi sesuai dengan kehendaknya.
Jika negara membiarkan pers menjadi lemah–tidak ada regulasi di era digital, tunggulah negeri ini menjadi bulan-bulanan berita palsu yang diproduksi platform global. ***