Iskandar Zulkarnain
Wartawan Lampung Post
PAPUA ingin dikacaukan! Itu ucapan Jenderal Tito Karnavian, kepala polisi negeri ini yang lagi berkantor di Bumi Cendrawasih. Tito bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam waktu yang tidak ditentukan akan tinggal bersama rakyat untuk meredakan konflik. Provinsi di ujung timur itu bergolak bahkan anarkistis pada Kamis, 29 Agustus lalu.
Intinya ingin berpisah dari NKRI. Isu rasial dihembuskan. Berita bohong (hoaks) bertebaran di jagat media sosial, sehingga anak bangsa di Tanah Papua tersulut api amarah. Tindakan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang adalah pemicunya. Papua dan Papua Barat membara dibuat oleh kabar bohong.
Jauh sebelumnya, Opa Zeth Lekatompessy, penyanyi legandaris Maluku, guru nyanyi Utha Likumahua dan Broery Pesolima mengingatkan anak bangsa bahwa semua bersaudara dalam bingkai NKRI. “Dari ujung Banda Aceh sampai Tanah Papua, kita semua bersaudara. Indonesia…” (Sebait lirik lagu ciptaan Opa Zeth, berjudul Kita Semua Bersaudara Indonesia Manise).
Bahkan karena lagunya pada 1978, Opa diundang menyanyi di Negara Papua Nugini. Dia ditugasi mendamaikan rakyat Irian Jaya (Papua Barat) dan Papua Nugini yang lagi bertikai. Alhasil, lewat lagu, kedua masyarakat yang berkonflik larut dalam kegembiraan. Papua memang seksi. Maka itu, luar negeri ingin sekali merebutnya dari pangkuan ibu pertiwi.
Situasi di Papua tidak bisa dianggap enteng. Setiap saat bisa meletup. Maka itu, Tito dan Hadi tidak akan pulang ke Jakarta, sebelum Papua benar-benar aman dan kondusif. Aparat pun melakukan latihan perang bersama. Papua hari ini lebih baik dari puluhan tahun silam. Fasilitas publik dibangun. Jalan trans dibuka. Di daerah perbatasan mulai diterangi listrik.
Tidak itu saja, saham tambang emas Freeport pun sudah tidak lagi dikuasai asing. Ada harapan untuk anak-anak Papua pada masa mendatang. Saatnya rakyat menikmati tidak lagi mahal ketika ingin membeli semen, pupuk, juga bahan bakar minyak. Tunjukan kepada dunia, bahwa Indonesia sangat serius membangun provinsi termiskin ini.
Keseriusan itu pun harus ditunjukkan dengan membangun fasilitas ekonomi seperti pabrik semen, pupuk, juga sarana transportasi. Ingat Kaka ingat film Di Timur Matahari. Terurai kehidupan nyata di Tanah Papua. Kemiskinan akan menumbuhsuburkan konflik.
Pada Maret 2019 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa Papua merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin mencapai 27,53%. Begitu juga di Papua Barat tercatat 22,17%. Sedangkan angka nasional hanya bertengger di angka 9,41%.
Jadi wajar jika dalam lima tahun terakhir ini, pembangunan bergeser ke Indonesia Timur—tidak lagi Jawasentris. Papua mendapat gelontoran dana mencapai Rp100 triliun. Dana itu jauh lebih besar ketimbang pajak dari gas di Papua dan royalti PT Freeport Indonesia yang berkisar Rp20 triliun.
Dulu, Maluku juga bergolak ingin merdeka. Di situ disulut oleh isu agama dan ketimpangan. Kini, suara itu nyaris tidak terdengar lagi—setelah disadarkan oleh Jembatan Merah Putih yang menyatukan Kota Ambon.
***
Kini Papua berbenah. Tahun depan, 20 Oktober 2020, ribuan atlet dari 34 provinsi berkumpul di Tanah Papua untuk menghelat acara Pesta Olahraga Nasional (PON). Dana ratusan miliar rupiah pun digelontorkan untuk membangun venue. Mimika Sport Center, Stadion Papua Bangkit Jayapura akan membuat sejarah sebagai tempat pembukaan dan penutupan PON.
Itu bukti keseriusan. Negeri ini tidak akan main-main dengan nasib masa depan anak bangsa. Cukup sudah Timor Timur yang lepas dari Indonesia. Papua didesain akan dibuat seperti itu juga! Jika anak bangsa ingat dengan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dipimpin Mayjen Soeharto pada 19 Desember 1961, Papua Barat tetap ingin dikuasai Belanda.
Operasi militer yang menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah cita-cita kemerdekaan yang diumumkan Presiden Soekarno di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Sejak awal, Belanda tidak ingin menyerahkan Papua ke pangkuan ibu pertiwi. Belanda ingin memberikan kemerdekaan khusus bagi Papua. Itu dilawan Soekarno!
Papua Barat harus direbut. Pada 15 Januari 1962, pertempuran di Laut Aru tidak dapat dielakkan. Tiga kapal perang milik Indonesia (KRI) baku tembak dengan Belanda. Komodor Yos Sudarso gugur dalam peperangan itu. KRI Macan Tutul yang membawa sang komodor ikut tenggelam dibom Belanda. Papua direbut dengan harta dan darah, bukan dengan propaganda.
Mengapa Belanda tidak rela menyerahkan Papua ke Indonesia? Koran terkemuka bernama New York Times edisi 6 Maret 1959, merilis bahwa Papua menyimpan emas dan tembaga. Buktinya? Pada 1960, Freeport Sulphur mendirikan perusahaan tambang di Timika. Selain tambang, keindahan alam Papua sangat memesona—Raja Ampat, contohnya.
Sadar atau tidak, Papua memang dibuat rusuh. Menko Polhukam Wiranto membeberkan. konspirasi yang dilakukan pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda dengan aktor lokal di Papua. Konspirasi itu membuat rusuh di Papua dan Papua Barat. Ingat ya! Benny bukan lagi warga negara Indonesia.
Dia tinggal di London, Inggris. Tokoh Papua itu bekerja sama dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Terang benderang, Papua ingin dikacaukannya. Wiranto menjelaskan ada campur tangan Benny untuk memuluskan rencana kerusuhan.
Konspirasi itu terlaksana karena adanya kesamaan pemikiran agar Papua dan Papua Barat berpisah dari Indonesia. Benny pun memanfaatkan isu rasial agar diterima PBB dalam Forum Komisi HAM di Jenewa. Dengan isu itu, semua negara menyampaikan pandangannya. Keblinger! Padahal anak Papua masih ada yang hidup nyaman dan aman. Di Lampung, contohnya.
Yang jelas, Majelis Umum PBB yang bersidang pada 23—24 September nanti, tidak ada agenda membahas tentang masa depan Papua. Jenderal Tito yang pernah bertugas di Papua memastikan, Benny Wenda adalah otak rusuh Papua. Rakyat menjadi korban ketidaktahuan. Sekali lagi, Opa Zeth berpesan, kita semua bersaudara. ***