Kalianda (Lampost.co) — Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Lampung Selatan menyatakan kasus perzinahan di Lamsel paling menonjol. Mirisnya lagi, pelakunya rata – rata orang terdekat.
Hal ini diungkap oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas PPPA Lamsel, Acam Suyana, Jumat, 15 Maret 2024.
Menurut Acam pelaku perzinahan terhadap perempuan dan anak rata-rata orang terdekat seperti ayah kandung,ayah tiri, paman, pakde, pacar hingga tetangga.
“Untuk faktor persetubuhan ada unsur pemaksaan,”katanya, ketika melalui sambungan selulernya.
Acam menjelaskan angka kasus kekerasan terhadap perempuan sejak Januari – Maret 2024 mencapai 5 orang. Kemudian kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari-Maret 2024 sebanyak 23 orang, dengan rincianya 22 anak perempuan dan 1 anak laki-laki.
“Kekerasan terhadap perempuan jenis kasusnya kekerasan fisik, pelecehan seksual pada perempuan (pemerkosaan) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),”jelasnya.
Sementara itu, lanjut dia, kekerasan terhadap anak, jenis kasusnya cukup banyak. Antara lain persetubuhan anak di bawah umur, pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Pembunuhan, kekerasan non fisik, TPPO dan melakukan anak di bawah umur.
“Selain itu, ada juga kasus narkoba pelakunya anak di bawah umur, bulliying, video asusila dan anak yang berhadapan dengan hukum, serta pernikahan di bawah umur,”tambahnya.
Ahli Hukum
Ahli hukum Pidana Universitas Lampung, Rini Fathonah, menyebut dari sisi aturan hukum pemberian sanksi terhadap para pelaku kejahatan seksual sebenarnya sudah cukup tegas.
Bahkan dalam peraturan pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganA nak, menyebutkan bahwa pelaku persetubuhan terhadap anak dapat mendapat hukuman kebiri.
Aturan itu dapat menjatuhkan kepada pelaku persetubuhan terhadap anak residivis. Kemudian pelaku persetubuhan terhadap anak yang melibatkan lebih dari satu orang. Lalu menimbulkan luka berat, mengganggu kejiwaan, mengakibatkan penyakit menular, hilangnya fungsi reproduksi atau korban meninggal dunia.
Namun meskipun aturan sudah secara tegas tercantum, realitasnya di lapangan penegakan hukuman terhadap pelaku kerap tidak berjalan dengan tegas.