Bandar Lampung (Lampost.co) — Akademisi hukum Universitas Tulang Bawang (UTB) Lampung, Ahadi Fajrin Prasetya, menyoroti meningkatnya potensi kerawanan hukum. Apalagi akibat pergerakan warga negara asing (WNA) ilegal wilayah Lampung.
Lalu menurutnya, posisi strategis provinsi ini sebagai gerbang Sumatra membuat Lampung rentan terhadap masuknya WNA tanpa pengawasan ketat. Hal itu berkaca dari, teramankannya 27 WNA asal China di Bandar Lampung, yang merupakan sindikat penipuan scam online.
“Lampung berada pada jalur vital perdagangan, pariwisata, dan transportasi nasional. Kondisi ini positif secara ekonomi, tetapi juga membuka peluang aktivitas lintas batas yang tidak terpantau,” ujar Ahadi kepada Lampost.co, Sabtu, 8 Oktober 2025.
Kemudian ia menjelaskan, secara hukum, tantangan terbesar berada pada lemahnya koordinasi antar lembaga dalam pengawasan dan pendataan WNA.
“Data keimigrasian sering tidak sinkron dengan data kependudukan dan kepolisian. Akibatnya, WNA yang overstay atau terlibat kegiatan ilegal sering lolos dari pemantauan,” katanya.
Literasi Digital
Selain itu, minimnya literasi digital masyarakat menjadi faktor sosial yang memperparah situasi. Masyarakat lokal masih mudah tertipu oleh modus penipuan daring oleh sindikat asing. Sementara itu, infrastruktur pengawasan digital dan keimigrasian belum sepenuhnya memadai.
“Kita belum punya sistem data real-time antara Imigrasi dan kepolisian daerah. Padahal, deteksi dini itu kuncinya ada pada kecepatan dan integrasi data,” jelasnya.
Karena itu, butuh Pendekatan Teknologi dan Hukum. Ahadi mendorong penerapan sistem pencegahan dan deteksi dini berbasis teknologi di Lampung melalui konsep Integrasi Data Multisektor.
“Data Imigrasi, Dukcapil, dan Kepolisian harus terintegrasikan dalam satu dashboard. Dengan sistem peringatan dini berbasis AI, aktivitas digital mencurigakan bisa terpantau otomatis,” ujarnya.
Kemudian dari aspek hukum dan kelembagaan, Ahadi mengusulkan pembentukan Patroli Keimigrasian Terpadu, antar instansi. Selain itu, perlu peningkatan kapasitas aparat dalam bidang investigasi digital dan forensik siber. Serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar izin tinggal dan pihak lokal yang memberikan tempat tinggal ilegal bagi WNA.
Lalu Ahadi menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan WNA. “Kita butuh kanal pelaporan publik berbasis digital. Masyarakat bisa berperan aktif melaporkan aktivitas WNA mencurigakan,” ucapnya.
Selain itu, kemitraan antara kampus dan pemerintah daerah perlu diperkuat dalam riset kebijakan publik, keamanan digital, dan pengawasan migrasi.
“Kampus punya kapasitas riset dan teknologi, sedangkan pemerintah punya kewenangan implementatif. Kolaborasi keduanya akan memperkuat daya tangkal daerah terhadap kejahatan lintas negara,” katanya
Sementara dalam perspektif hukum, Ahadi menilai bahwa Lampung perlu memiliki Rencana Aksi Daerah Pengawasan WNA Berbasis Data, yang tertuang dalam peraturan gubernur atau peraturan daerah.
“Tanpa payung hukum yang jelas, koordinasi lintas instansi akan lemah. Rencana aksi berbasis data ini menjadi landasan bagi integrasi sistem masa depan,” katanya.








