Yogyakarta (Lampost.co) — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai sorotan setelah kasus keracunan makanan menimpa ratusan siswa di berbagai daerah. Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Agus Sartono, menilai konsep MBG bagus, namun implementasinya bermasalah.
Poin Penting:
-
Serahkan pelaksanaan MBG ke kantin sekolah atau orangtua.
-
UMKM lokal bisa jadi pemasok bahan baku.
-
Rantai distribusi panjang sebabkan kebocoran hingga Rp33,3 triliun.
Menurutnya, agar terhindar dari keracunan MBG, sebaiknya pengelolaan program oleh kantin sekolah atau bahkan menyerahkan langsung kepada orangtua siswa.
“Program MBG sejatinya baik dan penuh manfaat. Tetapi tantangan ada di delivery mechanism. Persoalan muncul bukan pada ide, melainkan pada pelaksanaannya,” ujar Agus, Jumat, 3 Oktober 2025.
Baca juga: Guru Besar UI Ingatkan Pentingnya Awasi Ketat Makanan MBG
Manfaat Program MBG Sangat Besar
Agus Sartono juga menjelaskan MBG memiliki tujuan strategis. Pertama, memperbaiki gizi anak usia sekolah. Kedua, memperkuat kohesi sosial. Ketiga, menciptakan efek ganda pada pertumbuhan ekonomi nasional. Keempat, mengurangi kesenjangan sosial. Kelima, membuka lapangan kerja. Keenam, mencegah urbanisasi.
Namun, ia menekankan manfaat tersebut bisa hilang jika mekanisme distribusi tidak tepat. Kasus keracunan MBG yang terjadi akhir-akhir ini menjadi bukti lemahnya pengawasan serta panjangnya rantai distribusi makanan bergizi gratis.
Jumlah Siswa dan Anggaran Fantastis
Agus menyoroti jumlah sasaran program MBG yang mencapai 55,1 juta siswa dari SD hingga SMA, termasuk SLB dan pesantren. Jumlah itu tersebar di 329 ribu sekolah, belum termasuk 20 ribu pesantren.
Dengan biaya Rp15 ribu per siswa, maka butuh anggaran hingga Rp247,95 triliun per tahun. Angka ini lebih besar dari dana desa 2025 yang hanya Rp71 triliun.
“Dana sebesar itu tentu dapat menggerakkan ekonomi. Namun, riuhnya kritik terhadap MBG muncul karena mekanisme distribusi yang salah arah,” katanya.
Libatkan Kantin Sekolah
Guru Besar UGM itu menyarankan agar pelaksanaan MBG melalui kantin sekolah. Cara ini terbukti efektif di banyak negara maju. Makanan yang kantin siapkan lebih segar, higienis, dan mudah mengawasinya.
“Sekolah dan komite sekolah mampu mengelola ini. Dengan skala lebih kecil, distribusi lebih mudah mengawasinya dan mengurangi risiko keracunan MBG,” ujarnya.
Selain itu, UMKM sekitar sekolah bias memasok bahan baku. Dengan demikian, uang Rp15 ribu per porsi dapat sekolah terima penuh, bukan menyusut menjadi Rp7 ribu karena rantai penyaluran yang panjang.
Dana MBG untuk Orangtua
Agus juga mengusulkan opsi penyaluran dana MBG langsung kepada orangtua siswa. Mekanisme ini mirip dengan kartu Indonesia pintar (KIP) atau penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS).
“Jika langsung mentransfer dana ke orangtua, mereka bisa menyiapkan bekal sehat. Sekolah tinggal mengawasi apakah siswa membawa bekal atau tidak,” katanya.
Bahaya Panjangnya Rantai Distribusi
Agus juga menilai keracunan MBG tidak lepas dari rantai distribusi yang terlalu panjang. Saat ini, distribusi melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) justru lebih menguntungkan pengusaha besar.
Dengan margin Rp2.000 per porsi, pengusaha bisa meraup Rp150 juta per bulan hanya dari 3.000 porsi. Jika dihitung nasional, kebocoran bisa mencapai Rp33,3 triliun per tahun.
“Sayang sekali jika dana besar justru menjadi ajang pemburu rente. Program Makan Bergizi Gratis seharusnya benar-benar gratis dan bermanfaat untuk siswa, bukan untuk pengusaha besar,” katanya.