Bandar Lampung (Lampost.co) — Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) menyatakan sikap tegas atas kasus dugaan tindak kekerasan yang terjadi di sebuah pondok pesantren di Aceh Barat, Senin, 30 September 2024.
Seorang santri bernama Teuku (15) menjadi korban kekerasan fisik yang dilakukan istri pimpinan pesantren, berinisial NN (40).
Tindakan tersebut karena Teuku kedapatan merokok. Namun pelaku menghukum Teuku dengan cara menggunduli kepalanya dan menyiram tubuhnya menggunakan air cabai. Akibat tindakan ini, Teuku mengalami luka fisik serta trauma psikologis yang membutuhkan perawatan intensif.
Baca Juga:
Diduga Siram Santri Pakai Air Cabai, Istri Pimpinan Ponpes di Aceh Barat Ditangkap Polisi
Aksi ini terekam dalam video dan menyebar luas di media sosial. Sehingga memicu kecaman dari berbagai pihak.
Kasus ini mendapat perhatian besar, tidak hanya dari keluarga korban yang segera melapor ke pihak berwenang. Tetapi juga dari masyarakat luas yang prihatin dengan tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Terkait hal itu, JPPRA melalui Koordinator Nasional, Kiai Yoyon Syukron Amin, mengeluarkan pernyataan resmi.
“Kami sangat prihatin dengan kejadian ini dan mengecam keras segala bentuk kekerasan di lingkungan pesantren. Pesantren harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar. Bukan tempat di mana mereka menjadi korban kekerasan,” kata Kiai Yoyon, lewat pernyataan pers, Jumat, 4 Oktober 2024.
Ia menyebut, tindakan kekerasan bukan hanya melanggar hak-hak anak yang terjamin oleh Undang-Undang. Tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan kasih sayang dan pendidikan berbasis akhlak.
“Kami mendesak para pemangku kebijakan, baik di tingkat pesantren maupun pemerintah, untuk segera melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ada. Pendidikan harus lebih mengedepankan pendekatan humanis dan dialogis. Sesuai dengan prinsip Islam yang mengajarkan rahmat bagi semesta alam,” tegasnya.
Dukung Langkah Hukum
JPPRA juga mendukung langkah hukum terhadap pelaku kekerasan serta berharap agar prosesnya berjalan transparan dan adil.
Kiai Yoyon berharap aparat penegak hukum dapat menindak tegas kasus ini. “Kekerasan tidak bisa dibiarkan, dan pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum,” tegasnya.
Pernyataan sikap dari JPPRA juga mengajak seluruh pesantren di Indonesia untuk memperkuat komitmen mereka dalam menciptakan lingkungan yang ramah anak.
JPPRA menekankan bahwa, pesantren harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan generasi penerus yang berakhlak mulia, tanpa menggunakan metode kekerasan.
“Semoga kasus ini menjadi momentum bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dalam mendisiplinkan anak didik. Demi menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda kita,” pungkasnya.