Bandar Lampung (Lampost.co) — Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK), MHD Zaidi, menegaskan perubahan zona hijau seluas sekitar 30 ribu hektare dalam revisi zonasi TNWK bukan untuk eksploitasi. Perubahan khusus untuk skema jasa lingkungan karbon dengan memastikan pengelolaan kawasan tetap mengedepankan perlindungan ketat seperti pada zona inti.
Poin Penting:
-
Zona hijau TNWK 30 ribu hektare hanya untuk keperluan skema karbon.
-
Perlindungan kawasan justru lebih ketat dari zona inti.
-
Rehabilitasi berpotensi meluas berkat pendanaan karbon.
Zaidi juga menjelaskan dalam pemanfaatan karbon terdapat dua skema, yaitu skema perlindungan dan skema penanaman. Pada skema perlindungan, aturan yang berlaku bahkan lebih ketat daripada zona inti karena nilai karbon harus terjaga stabil.
“Kalau tahun ini jumlah karbonnya satu ton, tahun depan harus tetap satu ton. Kalau turun jadi 900 kilogram, kita tidak akan dapat nilai ekonominya. Jadi satu batang pohon pun tidak boleh berkurang,” ujar Zaidi.
Baca juga: Karbon Peluang Baru Lampung Tambah Pendapatan Daerah
Ia juga menambahkan perubahan warna zonasi menjadi hijau bersifat administratif semata, mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024. Regulasi tersebut menyatakan hanya boleh memanfaatkan karbon di zona pemanfaatan. Meski demikian, pola pengelolaan tetap sama seperti zona inti.
“Kalau undang-undang memperbolehkan karbon di zona inti, kita tidak perlu mengubah warna. Secara lapangan, aturan perlindungannya tetap identik,” ujarnya.
Sementara untuk skema penanaman, Zaidi menegaskan jenis tanaman harus merupakan spesies endemik Taman Nasional Way Kambas. Karena meskipun masuk skema pemanfaatan karbon, arah pengelolaannya tetap sesuai prinsip rehabilitasi kawasan konservasi.
“Sama sekali tidak boleh tanaman nonendemik, seperti jambu. Skema ARN tetap mengikuti prinsip rehabilitasi seperti zona inti maupun zona rimba,” katanya.
Rehabilitasi Bersama Mitra
Ia juga mengungkapkan selama ini rehabilitasi di Taman Nasional Way Kambas bersama berbagai mitra, seperti ALE, Auriga, YABIL, dan kelompok tani hutan. Namun, keterbatasan anggaran membuat kegiatan penanaman hanya mampu mencakup 10 hingga 15 hektare per tahun.
“Dengan skema karbon, cakupan rehabilitasi bisa jauh lebih luas. Ini sangat menarik bagi investor karena memungkinkan pendanaan masuk lebih besar ke kawasan konservasi,” katanya.
Zaidi menyebutkan Presiden Prabowo Subianto melalui menteri Kehutanan menunjuk Taman Nasional Way Kambas sebagai pilot project nasional pemanfaatan karbon di kawasan konservasi. Karena itu, tahap awal membuka seluas 33 ribu hektare untuk uji coba.
“Sebenarnya zona rehabilitasi kita masih sangat luas. Tapi kita mulai dari 33 ribu hektare dulu. Kalau berhasil, akan membuat regulasi nasional dan menerapkannya di seluruh kawasan konservasi Indonesia,” katanya.
Melalui skema ini, harapannya Taman Nasional Way Kambas menjadi contoh bagaimana pemanfaatan karbon dapat berjalan selaras dengan perlindungan keanekaragaman hayati sekaligus membuka sumber pendanaan baru bagi upaya konservasi yang lebih berkelanjutan.






