Den Haag (Lampost.co)—Jaksa Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada Jumat (23/8/2024) menekankan pihaknya memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki warga Israel. Mereka pun mendesak para hakim segera memutuskan surat perintah penangkapan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersama Menteri Pertahanan, Yoav Gallant.
Dalam pengumuman dokumen ICC pada Jumat, Jaksa Karim Khan mendesak para hakim yang mempertimbangkan surat perintah penangkapan segera mengeluarkan surat perintah tersebut.
“Setiap penundaan adalah kesalahan dalam proses ini dan merugikan hak-hak para korban,” katanya.
Dia menekankan ICC memiliki yurisdiksi atas warga Israel yang melakukan kejahatan dan kekejaman di wilayah Palestina. Mereka meminta para hakim menolak gugatan hukum sejumlah negara dan pihak lainnya.
“Sudah menjadi hukum bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi dalam situasi ini,” tulis dokumen tersebut. Hal itu sekaligus menolak argumen hukum yang berdasarkan pada ketentuan Perjanjian Oslo dan pernyataan Israel. Argumen tersebut menyatakan mereka sedang melakukan penyelidikan sendiri terhadap dugaan kejahatan perang.
Israel terus melakukan genosida di Jalur Gaza yang sedang perang, dengan mengabaikan semua putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang dalam keputusannya bersifat mengikat secara hukum. Putusan ICJ memerintahkan Israel menghentikan serangan militer mereka di Rafah, yang melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida.
Israel menggempur Gaza sejak 7 Oktober 2023 yang mengakibatkan sedikitnya 40.265 warga Palestina tewas dan lebih dari 93.144 lainnya terluka.
Sedikitnya 10.000 orang juga tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Dugaannya, mereka tewas tertimbun reruntuhan di seluruh Jalur Gaza.
Organisasi internasional dan Palestina mengatakan mayoritas korban adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Agresi Israel juga memaksa hampir dua juta orang dari seluruh Jalur Gaza untuk mengungsi. Sebagian besar dari mereka dengan terpaksa pergi ke Kota Rafah Selatan yang padat penduduk dan berada di dekat perbatasan dengan Mesir.
Pemindahan paksa tersebut telah menjadi eksodus massal terbesar Palestina sejak peristiwa Nakba 1948.