Bandar Lampung (Lampost.co)–Penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, termasuk di Lampung. Di tengah meningkatnya industri kuliner di kota Bandar Lampung, kemasan ini menjadi pilihan karena praktis. Selain itu sifatnya ringan, ekonomis, dan mampu menjaga suhu makanan.
Namun, kemasan styrofoam membawa dampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan, terutama ketika dibuang sembarangan. Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Syakira Nabila Azzahra melakukan studi kasus terkait penggunaan styrofoam ini di usaha kuliner kecil hingga menengah di Bandar Lampung. Dan mengkaji dampaknya, serta menyarankan solusi praktis dan regulasi untuk mengatasi masalah tersebut.
Dalam studi kasusnya, Kota Bandar Lampung, mengalami pertumbuhan ekonomi pesat, termasuk di sektor kuliner. Meningkatnya permintaan makanan cepat saji telah memicu penggunaan kemasan sekali pakai, terutama styrofoam. Styrofoam (polistirena tereksandari) adalah bahan yang populer dalam industri makanan karena kemampuannya menjaga suhu dan harganya murah. Temuannya di Lampung, penggunaan styrofoam banyak di warung makan kecil hingga usaha kuliner menengah.
Baca Juga:Yayasan Boemi Kita Targetkan Daur Ulang 300 Ton Sampah Plastik
Namun, meskipun menawarkan kemudahan, styrofoam juga membawa dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa bahan kimia berbahaya dalam styrofoam dapat berpindah ke makanan, terutama pada makanan panas atau berminyak.
Selain itu, material ini sangat sulit terurai di alam, menambah volume sampah di darat dan laut, yang dapat membahayakan ekosistem lokal.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kota Bandar Lampung mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan munculnya banyak usaha kuliner baru.
Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas usaha kecil menengah (UKM) di sektor kuliner, khususnya yang menyediakan makanan cepat saji atau makanan untuk dibawa pulang, menggunakan kemasan styrofoam. Hal ini dikarenakan biaya rendah dan kemudahan memperoleh bahan kemasan ini di pasar lokal.
Pada tahun 2023, sebuah survei terhadap 50 usaha kuliner kecil dan menengah di sekitar Bandar Lampung, menemukan 78% usaha ini menggunakan styrofoam untuk membungkus makanan. Dari jumlah tersebut, sekitar 65% mengaku memilihnya karena harganya lebih murah ketimbang kemasan lainnya. Selain itu, 54% usaha menyebutkan mudahnya mendapatkan kemasan styrofoam ketimbang kemasan alternatif yang ramah lingkungan.
Baca Juga: Sampah Plastik Laut Indonesia Menyebar hingga Afrika
Namun, hanya 15% dari pemilik usaha yang mengetahui bahwa styrofoam dapat berdampak buruk pada kesehatan konsumen. Terutama jika penggunaannya untuk makanan panas.
Sementara itu, lebih dari 80% tidak menyadari adanya risiko pencemaran lingkungan dari penggunaan styrofoam. Ini menunjukkan kurangnya edukasi dan kesadaran di kalangan pelaku usaha mengenai dampak jangka panjang pemakaian kemasan ini.
Styrofoam mengandung bahan kimia berbahaya seperti stirena dan benzena, yang dapat larut ke dalam makanan ketika terkena panas. Berdasarkan penelitian dari National Research Council (2014), paparan stirena dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata, dan saluran pernapasan. Dalam jangka panjang, stirena juga diketahui bersifat karsinogenik dan dapat meningkatkan risiko kanker.
Dalam sebuah penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek, Bandar Lampung, temuannya bahwa 10% dari pasien penderita gangguan pencernaan selama 2020-2023 mengaku sering mengonsumsi makanan terbungkus styrofoam. Meskipun ini bukan satu-satunya faktor, dugaan adanya kontaminasi stirena dalam makanan panas menjadi perhatian bagi dokter setempat.
Dampak pada Lingkungan
Di lingkungan, styrofoam membutuhkan waktu lebih dari 500 tahun untuk terurai secara alami. Sehingga menambah beban pada tempat pembuangan akhir (TPA) dan menyebabkan polusi plastik di lautan.
Lampung, dengan wilayah pesisirnya, sangat rentan terhadap pencemaran laut akibat sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik.
Pada tahun 2022, penelitian yang dilakukan Universitas Lampung menemukan bahwa 12% dari sampah yang terkumpul di pesisir pantai Mutun dan Telukbetung adalah styrofoam. Penelitian ini juga mengungkap bahwa mikroplastik telah mencemari biota laut setempat. Ikan-ikan yang ditemukan di pesisir tersebut memiliki kandungan mikroplastik di dalam tubuhnya, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi kesehatan manusia yang mengonsumsi hasil laut.
Beberapa alternatif penggantinya telah mengalami pengembangan dan beberapa daerah menerapkannya. Seperti bioplastik, kemasan berbasis kertas, serta kemasan alami dari daun pisang dan bambu.
Di Lampung, penggunaan bahan-bahan ini masih terbatas, terutama karena tingginya biaya dan kurangnya ketersediaan di pasar lokal.
Namun, beberapa inisiatif dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah mulai mempromosikan penggunaan kemasan ramah lingkungan di Lampung. Misalnya, Green Movement Lampung telah mengadakan kampanye pengurangan plastik di beberapa sekolah dan pasar lokal sejak 2021. Kampanye ini berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya styrofoam. Meskipun implementasinya masih terbatas di kalangan pelaku usaha kecil.
Pemerintah daerah Lampung dapat berperan lebih aktif dalam mengurangi penggunaan styrofoam melalui kebijakan lebih ketat. Seperti pelarangan penggunaan styrofoam dalam kemasan makanan dan pemberian insentif bagi pelaku usaha yang menggunakan kemasan ramah lingkungan.
Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha juga sangat penting meningkatkan kesadaran tentang bahaya styrofoam. Penerapan program daur ulang serta pengembangan industri kemasan ramah lingkungan di Lampung dapat menjadi langkah strategis dalam jangka panjang.