Bandar Lampung (Lampost.co) — Provinsi Lampung mencatat 396 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari hingga Juli 2025.
Sementara berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Korban berjumlah 430 orang, terdiri dari 369 perempuan dan 61 laki-laki.
Kemudian dari 15 kabupaten/kota, Kota Bandar Lampung menjadi wilayah dengan laporan terbanyak, yakni 130 kasus. Sementara itu, Kabupaten Lampung Barat menempati posisi terendah dengan tujuh kasus.
Bentuk kekerasan yang teralami korban meliputi kekerasan seksual (272 kasus), fisik (123). Lalu psikis (61), penelantaran (5), trafficking (3), eksploitasi (2), serta kategori lainnya (11). Anak di bawah umur mendominasi jumlah korban, mencapai 322 orang. Sedangkan korban berusia 18-59 tahun tercatat 108 orang.
Sementara jika melihat dari lokasi kejadian, rumah tangga menjadi tempat paling sering terjadinya kekerasan, yakni 234 kasus. Sisanya terjadi pada lokasi lain (106 kasus), fasilitas umum (34), sekolah (16), tempat kerja (4), serta lembaga pendidikan kilat (2).
Menanggapi kondisi ini, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung, Marindo Kurniawan mengatakan pihaknya bersama Komisioner KPAI., Dian Sasmita membahas penguatan koordinasi lintas sektor dan pemberdayaan pemerintah desa. Ini untuk memperkuat perlindungan anak.
“KPAI melakukan pengawasan dan berdialog langsung dengan pemerintah daerah sangat penting. Banyak temuan pada lapangan yang bisa menjadi bahan advokasi ke tingkat nasional,” ujar Marindo.
Forum Perlindungan
Sementara itu, Komisioner KPAI, Dian Sasmita mengapresiasi langkah Provinsi Lampung. Apalagi yang telah mengembangkan Forum Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) pada ratusan desa. Termasuk di Kabupaten Pesisir Barat.
Kemudian menurutnya, perlu keterlibatan tokoh masyarakat, perempuan, nelayan, dan forum anak. Ini menjadi modal kuat dalam pencegahan kekerasan.
Meski demikian, Dian menekankan bahwa gerakan masyarakat yang bersifat sukarela seperti PATBM tetap membutuhkan dukungan struktural. Beberapa desa bahkan mulai mengalokasikan dana desa khusus untuk program perlindungan anak. Ini yang dinilainya sebagai langkah strategis.
“Perlindungan anak itu lintas sektor, tidak bisa hanya terbebankan pada Dinas PPPA. Ini juga menyangkut pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan peran desa,” tegasnya.
Selanjutnya KPAI turut menyoroti ancaman baru bagi anak-anak, seperti eksploitasi seksual berbasis siber. “Sekarang yang terjualbelikan bukan hanya tubuh anak, tapi juga gambar mereka. Ini tantangan yang lebih kompleks,” katanya.
Kemudian ia juga mengapresiasi keberadaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta Satgas sekolah-sekolah Lampung. “Hal tersebut dapat menciptakan lingkungan belajar aman dan ramah bagi anak,” ujarnya.








