Bandar Lampung (Lampost.co)– Dalam perspektif kontestasi politik tidak ada jaminan program pembangunan oleh kepala daerah akan berkesinambungan atau dilanjutkan oleh kepemimpinan selanjutnya.
Guru besar Ilmu Kebijakan Publik Unila, Syarief Makhya, menyebut selama 4 kali pergantian kepala daerah Lampung. Mulai 2005, 2010, 2015, hingga 2020 membawa konsekuensi terjadinya perubahan kebijakan.
Perubahan kebijakan tersebut menurutnya berjalan tanpa manajemen perencanaan yang tepat dan tidak melakukan analisis risiko kebijakannya. Akibatnya ada potensi pembangunan tidak melanjutkan atau bahkan menjadi terhenti.
Pj Kepala Daerah di Lampung Diprediksi Tidak Ada yang Maju Pilkada
Pria 64 tahun itu menyebut, kehadiran visi, misi, dan program kepala daerah akan menentukan arah dan fokus perkembangan serta pengelolaan sumber daya di suatu daerah.
“Oleh karena itu, dalam penyusunanannya harus mempertimbangkan aspek kelayakan implementasi. Target capaian kebijakan dari setiap aspek output dan outcome, serta analisis resiko kebijakan,” ujar Syarief dalam agenda pengukuhan guru besarnya di GSG Unila, Kamis, 1 Agustus, 2024.
Berdasarkan hasil studi yang ia lakukan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Ia menyebut setidaknya ada tujuh program pembangunan yang menunjukkan ketidaksesuaian antara tujuan pemerintah dan hasil yang ingin tercapai.
Pembangunan Kota Baru
Ke-7 program tersebut yaitu pembangunan kota baru, pembangunan terminal agribisnis, pembangunan Water front city, pembangunan perpustakaan modern. Pembangunan Pasar SMEP, pembangunan observatorium teropong bintang, dan pembangunan jembatan Selat Sunda.
Kendati dari aspek program dan tujuan mendapatkan dukungan dari legitimasi politik dari masyarakat, namun ia menilai keberlanjutan pembangunan tersebut berhenti saat terjadi pergantian kepala daerah.
“Karena ada faktor politik, kepala daerah itu tidak mau melanjutkan itu. Akhirnya ada yang di korbankan, yaitu kepentingan publik yang lebih luas menjadi tereduksi oleh kepentingan golongan,” ujarnya.
Dengan demikian dari aspek kebijakan publik. Ia menilai program-program tersebut masuk kategori sebagai bentuk kegagalan kebijakan. Karena kebijakan tersebut tidak mencapai tujuan sesuai harapan.
“Tidak di lanjutkan, terjadi pemborosan dari aspek anggaran yang sudah dikeluarkan, dan tidak ada kejelasan untuk pertanggungjawaban formalnya,” ucapnya.
Pada bagian penutup orasi ilmiahnya, Syarief menyampaikan bahwa kebijakan publik harus kita pahami bukan hanya sebagai suatu keputusan teknis. Namun juga sebagai manifestasi nilai-nilai politik yang beragam.
“Oleh karena itu tindakan kebijakan publik akan selalu mencerminkan nilai dinamika politik dalam masyarakat yang meliputi konflik kepentingan, aspirasi, dan kebutuhan dari berbagai kelompok dan individu,” ungkapnya.