Bandar Lampung (Lampost.co) — DPRD Provinsi Lampung menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan warga Anak Tuha, Lampung Tengah, dan LBH Bandar Lampung, Selasa, 16 September 2025. RDP tersebut terkait polemik konflik agraria dengan PT. Bumi Sentosa Abadi (BSA).
Perwakilan Desa Bumiaji, Tarman mengatakan lahan yang digarap masyarakat tiga desa Anak Tuha merupakan tanah sendiri, bukan milik perusahaan. Namun ia menyebut, sejak tahun 2012 perusahaan mengambil alih tanah mereka dan melakukan penggusuran tanpa dasar yang jelas.
“Pada tahun 2023 tanaman singkong warga tergusur habis tanpa ada ganti rugi maupun dialog. Penggusuran besertai kekerasan, penahanan, dan intimidasi. Sehingga warga merasa diperlakukan sebagai penjahat pada tanah sendiri,” ujarnya.
Kemudian karena kehilangan lahan, kondisi sosial ekonomi masyarakat terpuruk. Ia menyebut, anak-anak tidak bisa sekolah, sebagian terpaksa merantau, bahkan ada yang terseret ke tindak kriminal karena tidak ada pilihan lain.
“Situasi keamanan kampung pun menjadi tidak terkendali. Masyarakat berharap DPRD, Gubernur, dan Bupati serius memperjuangkan hak mereka,” katanya.
Selanjutnya ia mengatakan warga ingin penyerobotan tersebut harus terhentikan. Karena lahan itu adalah tanah adat peninggalan nenek moyang. Warga meminta agar dukungan ini tidak hanya sebatas janji, melainkan terwujudkan dalam kebijakan nyata.
Masyarakat Tertekan
Sementara perwakilan warga Desa Desa Negara Aji Baru, Murni menyampaikan. Warga sudah lama mencari solusi dengan berbagai cara. Tetapi hasilnya tidak pernah jelas dan masyarakat terus mengalami tekanan.
“Aspirasi memang sudah sampai kepada tingkat pusat, namun yang terbutuhkan adalah tindakan nyata. Masyarakat menginginkan tanah mereka benar-benar kembali agar dapat hidup layak pada tanah leluhur sendiri. Bukan menjadi tamu pada kampung sendiri,” katanya.
Kemudian perwakilan Desa Negara Aji Tua, Hasan menyampaikan, penguasaan lahan mulai tahun 1972. ketika PT. Chandra Bumi Kota masuk tanpa persetujuan masyarakat. Ia menyebut ada oknum pemerintah yang memberi izin sepihak, sehingga lahan masyarakat dikuasai perusahaan.
“Lahan itu kemudian beralih kepada PT. BSA tanpa proses jual beli maupun ganti rugi. Perusahaan hanya mengandalkan dokumen HGU, sementara masyarakat memiliki bukti penguasaan turun-temurun,” katanya.
Selanjutnya, PT. BSA mengklaim luas lahan sekitar 807 hektare, tetapi masyarakat meyakini lebih dari itu. Setiap kali warga mencoba masuk, aparat selalu menyatakan tanah tersebut milik perusahaan. Dampaknya, masyarakat kehilangan sumber ekonomi. Anak-anak kesulitan melanjutkan sekolah karena biaya tinggi, sementara orang tua tidak lagi memiliki lahan garapan untuk bekerja.
“Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin terpuruk,” katanya.