Jakarta (lampost.co)–Sebanyak 5.021 personel gabungan mengamankan demonstrasi mahasiswa dan aliansi terkait Revisi UU TNI di Gedung DPR RI Jakpus, Kamis, 20 Maret 2025.
“Lakukan unjuk rasa dengan damai, tidak memaksakan kehendak. Tidak anarkis dan tidak merusak fasilitas umum,” kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Polisi Susatyo Purnomo Condro di Jakarta.
Personel gabungan tersebut terdiri dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemda DKI dan instansi terkait. Mereka tersebar di sejumlah titik sekitar Gedung DPR RI.
“Selain itu, pengamanan juga untuk mencegah massa aksi masuk ke dalam Gedung DPR RI,” ujarnya.
Pengalihan arus lalu lintas di depan Gedung DPR RI bersifat situasional. Susatyo menyebut, rekayasa arus lalu lintas berlaku sesuai perkembangan di lapangan.
Bertindak Persuasif
Selain itu, Susatyo mengingatkan kepada seluruh personel yang terlibat pengamanan selalu bertindak persuasif, tidak memprovokasi dan terprovokasi. Kemudian, mengedepankan negosiasi, pelayanan yang humanis serta menjaga keamanan dan keselamatan.
Susatyo juga mengimbau kepada para koordinator lapangan (korlap) dan orator untuk melakukan orasi dengan santun dan tidak memprovokasi massa.
“Hormati dan hargai pengguna jalan yang lain yang akan melintas di sekitaran Gedung DPR RI,” katanya.
Susatyo menyebutkan personel yang terlibat pengamanan tidak ada yang membawa senjata dan tetap menghargai massa aksi yang akan menyampaikan pendapatnya.
Sementaram, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro) menilai Revisi UU TNI secara diam-diam bertentangan dengan agenda reformasi TNI.
Menurut Castro, revisi UU TNI akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum. “Dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi. Revisi itu mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas/kekebalan hukum anggota TNI,” ujarnya.
Jika ada pembiaran terhadap hal itu, akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi. “Ini ancaman pada negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan,” tegas Castro, Minggu, 16 Maret 2025.