Jakarta (Lampost.co)–Desakan agar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mundur dari jabatannya semakin menguat. Gerakan ini bukan sekadar suara sumbang dari segelintir pihak, melainkan konsolidasi masif dari lebih dari 300 purnawirawan TNI lintas matra. Secara resmi menuntut pemakzulan Gibran oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Poin Penting:
- Lebih dari 300 purnawirawan TNI dari lintas matra menuntut Gibran Rakabuming Raka mundur dari kursi Wakil Presiden.
- Didukung eks Wapres Try Sutrisno, tuntutan itu muncul karena pencalonan Gibran dinilai cacat etik dan melanggar prosedur hukum.
- Wiranto, menyatakan bahwa Presiden Prabowo menghargai aspirasi para purnawirawan, tapi tak punya kewenangan.
Puncak tekanan politik itu mencuat pada Kamis, 17 April 2025, saat Forum Purnawirawan Prajurit TNI menggelar pertemuan besar di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam forum tersebut, tercetus delapan poin tuntutan, salah satunya adalah usulan pergantian Wakil Presiden. Tuntutan itu merujuk pada dugaan pelanggaran etik dan prosedural dalam proses pencalonan Gibran, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Surat tuntutan tersebut tertandatangani oleh tokoh-tokoh militer ternama: 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Yang mengejutkan, Wakil Presiden ke-6 RI, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, turut memberikan restu terhadap gerakan ini. Nama-nama besar lain seperti Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Slamet Soebijanto, dan Hanafie Asnan juga tercantum sebagai penandatangan.
Baca Juga: Sembilan Daerah Bersiap Gelar PSU Pilkada 16 dan 19 April 2025
Desakan dari Luka Sejarah
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro), menyebut desakan tersebut sebagai bentuk respons atas “luka masa lalu”. Ia menyoroti cacat etik dalam proses pencalonan Gibran, yang dinilai menggunakan celah hukum melalui Mahkamah Konstitusi untuk memuluskan syarat usia.
“Cacat etik semacam ini membawa risiko politik jangka panjang. Rekam jejak yang tidak patut akan selalu terbuka kembali, terutama jika berkaitan dengan jabatan publik,” ujar Castro.
Dalam wawancara dengan pengamat politik Selamat Ginting, Try Sutrisno menyampaikan keprihatinannya atas posisi Gibran di kursi Wakil Presiden. Ia secara terbuka menyayangkan keputusan Presiden Jokowi yang dinilai memaksakan pencalonan putranya, sehingga kini menuai kontroversi nasional.
“Saya tidak habis pikir. Kita harus menanggung akibatnya,” kata Try.
Jiwa Korsa dan Ketegangan Politik
Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai desakan purnawirawan tidak bisa terlepaskan dari semangat solidaritas militer. Keganjilan proses hukum pencalonan Gibran dan intensitas kehadiran Jokowi dalam aktivitas kenegaraan dinilai berpotensi mengganggu wibawa Presiden Prabowo.
Namun, menurut Dedi, pemakzulan Gibran sangat sulit dilakukan. “Sistem politik kita tidak memungkinkan pemakzulan tanpa pelanggaran hukum yang jelas,” tegasnya.
Sementara itu, menanggapi situasi ini, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menyatakan bahwa Presiden Prabowo menghargai aspirasi para purnawirawan. Namun tidak memiliki kewenangan untuk merespons usulan agar Gibran mundur dari jabatannya.
Kewenangan Lembaga Lain
“Presiden memahami pikiran-pikiran itu. Namun, sesuai prinsip trias politica, tidak bisa mencampuri kewenangan lembaga lain,” ujar Wiranto.
Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh dinamika media sosial yang bisa memperkeruh suasana politik nasional.
Pakar politik menyoroti bahwa konsolidasi para purnawirawan ini bisa menjadi sinyal kuat kembalinya pengaruh militer dalam politik. Castro bahkan menyarankan adanya masa cooling down bagi purnawirawan sebelum terjun ke politik agar tidak membawa karakter militeristik secara langsung ke ranah sipil.
“Betul bahwa mereka punya hak politik, tapi harus ada masa jeda agar dapat berasimilasi dengan nilai-nilai sipil,” tutup Castro.