Jakarta (Lampost.co): Indonesia sudah saatnya memiliki lembaga khusus yang menangani pelanggaran etika, yaitu Mahkamah Etika Nasional. Hal itu untuk memperbaiki kerapuhan etika penyelenggara negara.
Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, menyampaikannya dalam forum diskusi terpumpun (FGD) bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Perspektif Budaya Hukum”. Acara tersebut terselenggara oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Selasa, 17 September 2024.
Jimly mengungkapkan bahwa sejak 2009, ia telah berulang kali mempromosikan pentingnya menata sistem etika di Indonesia. Namun, hingga kini, belum ada usaha nyata dari pemerintah untuk mewujudkan rekomendasi yang sudah tertuang dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Tap tersebut secara eksplisit mengamanatkan kepada presiden, penyelenggara negara, dan masyarakat untuk menegakkan etika kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Saya sudah tiga kali menggelar konvensi nasional tentang etika kehidupan berbangsa. Bahkan waktu pelantikan Presiden Jokowi tahun 2019, Ketua MPR mendukung ide pembentukan Mahkamah Etika Nasional. Sudah mendapat persetujuan, tetapi tidak ada yang mengerjakan teknisnya,” ujar Jimly dalam diskusi terbaru.
Momentum
Menurut mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu, momentum saat ini sangat tepat untuk memulai pembentukan Mahkamah Etika Nasional. Lembaga ini dapat menjawab persoalan etika yang melanda berbagai sektor publik di Indonesia. Ia percaya Mahkamah Etika akan menjadi institusi yang berperan penting dalam menjaga integritas pejabat publik dan penyelenggara negara.
“Saya yakin timingnya sudah tepat. Kita buat Undang-Undang tentang etika berbangsa dan Mahkamah Etika Nasional. Undang-undang ini akan mengatur substansi etika dan infrastruktur pendukungnya, tidak hanya menyangkut penyelenggara negara, tetapi juga semua jabatan publik,” tegasnya.
Jimly menambahkan bahwa pelanggaran etika tidak hanya terjadi di kalangan penyelenggara negara, tetapi juga di berbagai organisasi profesional dan sektor publik lainnya.
“Etika jabatan publik lebih luas dari sekadar etika penyelenggara negara. Ada masalah serius di berbagai sektor, dari polisi hingga partai politik, bahkan di dunia kesehatan dan organisasi profesional,” jelas Jimly.