
LAMPUNG Timur menjadi salah satu daerah dengan status kerawanan narkoba tertinggi di Provinsi Lampung. Berdasarkan pemetaan Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2023. Lampung juga masuk salah satu daerah dengan Kawasan rawan narkoba yang cukup tinggi yakni 874 kawasan. Sepanjang tahun 2025, tercatat delapan tersangka penyalahgunaan narkoba dari enam kasus yang berbeda. (lampungpro.co, 2025). Kasus meliputi sabu-sabu, ganja, tramadol dan peredaran obat keras lainnya.
Tingginya kasus peredaran narkoba di Lampung Timur menjadi perhatian masyarakat. Pasalnya barang haram tersebut sangat meresahkan dan membawa dampak buruk yang berkepanjangan bagi kesehatan, ekonomi, dan rusaknya struktur sosial di masyarakat. Semakin tinggi angka peredaran narkoba, maka semakin tinggi pula angka kriminalitas seperti perampokan, pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya. Dalam jangka panjang, situasi tersebut berakibat pada menurunnya standar keamanan manusia/komunitas dari ancaman kejahatan yang semakin berkembang pesat. Hidup dalam bayang-bayang kejahatan adalah bentuk tiadanya keamanan bagi masyarakat luas.
Pesatnya kasus narkoba menjadi perhatian serius untuk ditangani sebagai permasalahan krusial. Tingginya kawasan narkoba berhubungan dengan berbagai aspek yang saling berkelindan satu sama lain.
Lemahnya penanganan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Lampung Timur, belum maksimalnya kinerja pihak yang berwenang dalam melakukan penangkapan dan memutus mata rantai peredaran jual beli narkoba, serta lemahnya peran Organisasi Kemasyarakatan yang consent terhadap isu narkotika dalam melakukan upaya mobilisasi partisipasi masyarakat agar terlibat secara maksimal dalam upaya pencegahan.
Jika kita lihat jumlah kasus penangkapan yang ada dibandingkan dengan besarnya jumlah kawasan rawan narkoba, maka upaya penanganan masih tergolong rendah. Dalam konteks lokal, Sebagian besar kecamatan di Lampung Timur menunjukkan tingkat kerawanan yang tinggi terkait penyalahgunaan narkoba, sehingga memerlukan perhatian serius dari pihak kepolisian dan organisasi non-pemerintah seperti GRANAT (Gerakan Nasional Anti Narkoba) dan GPAN (Gerakan Peduli Anti Narkoba) Lampung Timur dan ssebagainya.
Meskipun terjadi penurunan jumlah kasus penyalahgunaan narkoba di wilayah ini dari 107 kasus pada tahun 2022 menjadi 91 kasus pada tahun 2023, angka pengguna baru tetap menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Hal ini menjadi indikator kegagalan dalam mencapai target pencegahan.
Realisasi penurunan pengguna baru hanya mencapai 17 persen, jauh di bawah target nasional yang ditetapkan sebesar 5 persen.
Seperti beberapa informasi yang di dapatkan melalui portal berita, misalya pada bulan juni tahun 2025 ada penangkapan secara beruntun mulai tanggal 13 Juni hingga tanggal 14 Juni. secara akumulasi terdapat delapan orang yang tertangkap. Kemudian disusul pada bulan Oktober 2025. Kendati demikian data hanya terbatas pada informasi yang berada di portal berita. Problemnya, informasi utuh tidak ada keterbukaan dari instansi kepolisian daerah Lampung Timur. Tiadanya keterbukaan informasi mengenai angka kejahatan peredaran narkoba di Lampung Timur, menimbulkan kecurigaan dan ketidak percayaan publik pada instansi kepolisian. Selian itu, peta wilayah dan jejaring kartel narkoba tidak pernah dibuka untuk masyarakat luas. Siapa melibatkan siapa, di mana dan kapan potensi adanya pergerakan pengedar tidak pernah ada informasi yang utuh. Artinya ada pembatasan bentuk pertisipasi sipil dalam upaya mengentaskan narkoba di wilayah Lampung Timur. Pun demikian dengan BNKK Lampung Timur.
Opini publik berkembang bahwa BNNK Lampung Timur—meski memiliki mandat kuat— belum tampil sebagai motor utama dalam menekan peredaran narkoba di wilayah tersebut. Tentu, ini bukan berarti institusi tersebut tidak bekerja sama sekali, namun lebih pada kesan bahwa kinerjanya belum setara dengan urgensi masalah di lapangan. Jika diurai lemahnya kinerja BNNK Lampung Timur, maka terdapat beberapa faktor.
Pertama, minimnya operasi besar yang menyasar jaringan inti. operasi penindakan yang muncul ke permukaan masih bersifat sporadis dan menyasar pelaku tingkat bawah. Sementara itu, jaringan distribusi yang lebih besar tampak tidak tersentuh. Ketika operasi hanya berfokus pada pengguna atau kurir kecil, aktor-aktor utama tetap bebas bergerak dan memperluas jaringan. Sehingga strategi pemberantasan masih di permukaan belum menyentuh akar permasalahan yang lebih laten.
Kedua, kurangnya program pencegahan yang berkelanjutan dan disertai pemberdayaan tangguh terhadap narkoba. Hal ini ditandai dengan kegiatan sosialisasi yang cenderung aktivitas seremonial dan momentum. Ketiga, komunikasi publik BNNK yang kurang inklusif sehingga terkesan terbatas pada program yang tersegmentasi pada kelompok tertentu. Sesuai target kinerja mereka. Oleh karenanya masyarakat kurang merasakan dampak yang luas.
Ketika BNNK tidak mengkomunikasikan langkah-langkah strategisnya secara terbuka, muncul kesan bahwa lembaga tersebut “diam” atau pasif, meskipun mungkin ada pekerjaan internal yang tidak terekspos.
Komunikasi yang eksklusif berakibat pada lemahnya koordinasi dengan komponen masyarakat luas. Hal ini ditandai dengan minimnya masyarakat yang dilibatkan dalam kolaborasi jangka panjang dan berkelanjutan. Padahal pengawasan sosial yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran warga mulai dari level rumah tangga, kampung, hingga desa di tiap-tiap kecamatan terutama zona yang terpetakan sebagai rawan narkoba.
Di lain hal, keterlibatan Organisasi Kemasyarakatan yang mengklaim dirinya sebagai bagian dari gerakan anti narkoba, tidak optimal dalam memobilisasi peran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan narkoba. Mereka terjebak dalam prilaku elitisme di tengah masyarakat. Kurangnya kehadiran untuk melakukan edukasi publik membuat Ormas ini semakin berjarak dengan masyarakat. Kerja-kerja di lapangan seperti melakukan pendampingan keluarga, aktivitas pelaporan, advokasi publik, dan patroli sosial masih dianggap minim.
Fakta masifnya peredaran narkoba yang meresahkan masyarakat tidak bisa diacuhkan sama sekali. BNNK Lampung Timur harus semakin giat dalam melakukan pendampingan preventif bersama masyarakat. Menerapkan komunikasi yang terbuka, membentuk relasi yang inklusif dan melibatkan banyak entitas sosial dari berbagai latar belakang masyarakat. Seperti tokoh agama dan masyarakat, aktivis sosial, aktivis perempuan, dan representasi generasi muda dari kalangan anak sekolah dan mahasiswa. Bergerak bersama menjadi pilihan daripada sekadar menjadikan warga sebagai objek sosialisasi, lebih baik ajaklah masyarakat untuk berpartisipasi secara maksimal. Ini juga berlaku bagi Organisasi Kemasyarakatan yang seringkali mendaku diri sebagai representasi masyarakat. Tetapi pada kenyataannya kerap kali tidak representatif. Ormas harus bertolak dari keinginan masyarakat dan publik luas, memberantas narkoba hingga ke level paling inti, memutus mata rantai pengedaran, dan menyelamatkan masa depan masyarakat dari dekadensi moral dan destruksi tatanan sosial.








