Jakarta (Lampost.co) — Desain pemilu serentak yang digelar dalam satu tahun, baik Pemilu Legislatif dan Presiden 2024 pada Februari lalu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 pada November mendatang, menjadi salah satu faktor penyebab sulitnya warga negara indonesia mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah dari jalur perseorangan atau independen.
Pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraeni mengatakan keserentakkan itu membuat tahapan Pilkada 2024 menjadi tidak ideal.
“Penyelenggara, pemilih, dan peserta tidak akan sepenuhnya siap menyambut tahapan Pilkada 2024, termasuk pula dengan para aktor politik yang berencana maju di pilkada lewat jalur perseorangan,” kata Titi mengutip Mediaindonesia.com, Selasa, 14 Mei 2024.
Menurutnya, waktu persiapan yang mepet dan singkat membuat bakal pasangan calon (bapaslon) perseorangan tidak optimal dalam mengumpulkan dukungan pencalonan dari pemilih. Hal tersebut membuat persiapan para kandidat dilakukan serba tergesa-gesa, sehingga sulit untuk dapat optimal.
“Desain pemilu dan pilkada serentak pada tahun yang sama makin membuat hambatan berlipat bagi calon perseorangan. Sebab harus mengumpulkan dukungan dari pemilih yang belum sepenuhnya siap untuk beralih fokus dari pemilu ke pilkada,” terang Titi.
Bukan Faktor Tunggal
Namun, keserentakkan bukan faktor tunggal sulitnya kandidat perseorangan maju dalam kontestasi pilkada. Titi berpendapat, pencalonan lewat jalur independen memang tidak pernah mudah. Selain syaratnya yang berat, kandidat juga perlu memiliki modal kapital yang besar.
Contoh konkretnya pengumpulan dukungan pemilih lewat foto copy KTP warga sebagai persyaratan. Oleh karena itu, kandidat perseorangan yang tidak di topang persiapan matang dan dukungan struktural tim pemenangan yang solit bakal kesulitan memenuhi segala macam persyaratan.
Titi berpendapat, partai politik nampaknya memang sengaja membuat perangkap. Yaitu dengan mempersulit syarat kandidat perseorangan yang di mulai sejak Pilkada 2015. Di sisi lain, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga menerapkan proses verifikasi faktual lewat metode sensus.
“Di mana setiap dukungan akan di validasi kebenaran dan keabsahannya. Tentu sangat sulit jadinya untuk bisa lolos dari persyaratan dan proses verifikasi seperti itu,” pungkas Titi.








