KASUS dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, menciptakan kegaduhan hukum yang patut ditelaah lebih dalam.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, jaksa mendakwa Tom Lembong dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor, meskipun tidak ada bukti aliran dana yang masuk ke kantong pribadinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keadilan sedang ditegakkan, atau hanya sekadar menjerat seseorang dalam jeratan hukum demi pembuktian semata?
Dalam sistem hukum yang ideal, unsur “keuntungan pribadi” memang bukan satu-satunya indikator korupsi. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor memang memungkinkan seseorang dihukum meskipun ia tidak menikmati hasil kejahatan, asalkan terbukti ada perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.
Namun, dakwaan semacam ini perlu didukung oleh bukti konkret, bukan asumsi atau interpretasi yang meragukan. Jika audit BPK RI menyatakan tidak ada penyelewengan dalam importasi gula pada 2015-2016, lalu dari mana angka kerugian negara sebesar Rp 578,1 miliar yang diklaim oleh BPKP berasal?
Ini berbahaya bagi para pengambil kebijakan yang akan menjadi ragu-ragu dalam mengambil keputusan strategis bagi perekonomian negara.
Lebih jauh, proses hukum yang berjalan juga menjadi sorotan. Kuasa hukum Tom Lembong menuding bahwa jaksa bertindak sewenang-wenang dan menggunakan kewenangannya secara tidak proporsional. Tuduhan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, mengingat proses hukum yang adil harus memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya. Termasuk pembelaan yang layak dan perlakuan yang tidak diskriminatif.
Kasus ini menggarisbawahi persoalan klasik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana korupsi.
Dalam kasus Tom Lembong, dakwaan berpusat pada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam importasi gula yang menyebabkan kerugian negara. Namun, jika benar audit BPK tidak menemukan penyelewengan, sementara BPKP justru menyatakan ada kerugian, maka terdapat kontradiksi yang harus diperjelas. Sejauh mana hasil audit BPKP dapat dijadikan dasar dakwaan, dan apakah ada faktor politik yang memengaruhi hasil audit tersebut?
Selain itu, penting untuk menyoroti implikasi lebih luas. Jika kasus ini menjadi preseden, maka setiap kebijakan yang merugikan negara—meskipun tanpa unsur memperkaya diri—bisa menjadi celah untuk menjerat para pejabat. Ini berbahaya bagi para pengambil kebijakan yang akan menjadi ragu-ragu dalam mengambil keputusan strategis bagi perekonomian negara.
Saatnya membedakan antara korupsi yang nyata dan kriminalisasi kebijakan yang hanya akan menakuti pejabat yang berniat baik.
Dalam konteks hukum, majelis hakim harus benar-benar mempertimbangkan apakah dakwaan jaksa memiliki dasar hukum yang kuat atau hanya sekadar mencari kambing hitam. Keputusan dalam kasus ini tidak hanya berpengaruh bagi Tom Lembong, tetapi juga menjadi refleksi terhadap kredibilitas sistem hukum di Indonesia.
Pada akhirnya, hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan, melainkan harus menjadi pilar keadilan. Jika benar ada perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara, maka harus membuktikan dengan argumentasi yang kokoh dan transparan. Namun, jika ternyata dakwaan ini hanya berdasar asumsi dan tekanan politik, maka pengadilan harus berani menolaknya. Saatnya membedakan antara korupsi yang nyata dan kriminalisasi kebijakan yang hanya akan menakuti pejabat yang berniat baik.