Gejolak ekonomi global membuat nilai tukar rupiah bergerak fluktuatif dan menambah tekanan pada stabilitas keuangan nasional. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, mendorong kebijakan repatriasi valuta asing (valas) untuk menarik simpanan WNI di luar negeri melalui insentif yang lebih kompetitif dibandingkan negara lain.
Langkah ini dipandang sebagai upaya memperkuat cadangan devisa dan memberikan sinyal kepercayaan kepada pasar. Namun, pertanyaan penting pun muncul: mampukah repatriasi menjadi solusi atau justru membuka risiko baru bagi ekonomi nasional? Purbaya menjelaskan bahwa kebijakan yang diusung adalah skema berbasis pasar, artinya pemerintah tidak memaksa pemilik dana, melainkan menawarkan keuntungan yang dapat mendorong dana valas untuk kembali ke Indonesia. Sejumlah bank BUMN mulai bergerak dengan menaikkan suku bunga deposito dolar hingga 4 persen — sebuah langkah yang dipandang sebagai sinyal bahwa persaingan menarik likuiditas valas telah dimulai.
Namun, Purbaya menegaskan bahwa kebijakan naiknya suku bunga valas adalah inisiatif perbankan, bukan regulasi dari Kementerian Keuangan ataupun Bank Indonesia. Pemerintah masih menyiapkan insentif yang lebih terstruktur dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin timbul apabila repatriasi dana dilakukan tanpa pengawasan ketat. Sementara itu, di parlemen, sejumlah anggota DPR mengingatkan agar koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia diperkuat. Mereka menilai bentuk insentif harus jelas dan tidak menyulitkan pasar.
Sebab, kebijakan yang terlalu memanjakan pemilik dana hanya akan memberikan keuntungan sepihak tanpa efek berganda (multiplier) bagi perekonomian nasional. Dari sudut pandang ekonom Universitas Lampung, Nairobi, kebijakan ini dinilai memang berpeluang memberi dampak positif. Jika repatriasi berhasil, cadangan devisa akan menguat dan nilai tukar rupiah bisa lebih terjaga.
Namun, catatannya jelas: uang tidak memiliki kewarganegaraan — aset akan berpindah ke tempat yang memberikan keamanan dan keuntungan terbaik bagi pemiliknya. Oleh karena itu, insentif menjadi kunci utama. Bila pemerintah hanya menawarkan bunga yang setara dengan negara lain, maka dana akan tetap bertahan di luar negeri.
Sebaliknya, jika insentif lebih menarik dan didukung oleh jaminan kebijakan yang konsisten, maka pemilik dana akan tertarik memindahkan dananya ke dalam negeri. Nairobi juga menekankan, penempatan dana repatriasi di perbankan berisiko menimbulkan kelebihan likuiditas. Hal ini dapat menyebabkan bank kebanjiran dana yang tidak produktif dan berujung pada penyaluran kredit yang sembrono, sehingga meningkatkan risiko kredit macet.






