
RAMADAN akan segera tiba. Umat Islam sudah ramai dan masif mengadakan munggahan, tarhib, dan menyekar ke kuburan orangtua, leluhur, dan para kiyai sebelum ramadan. Dalam medsos pun bertebaran ritual ucapan permintaan maaf.
Pada saat yang sama, pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka sudah bekerja lebih dari 100 hari. LSI (Lembaga Survei Indonesia) memublikasikan hasil survei tentang kepuasan publik terhadap kinerja selama 100 hari kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka mencapai 81,4%.
LSI juga merilis 10 menteri yang mendapatkan kepuasan publik tertinggi. Yang menempati peringkat pertama dan kedua ialah Nasaruddin Umar (Menteri Agama) mencapai 92.9% dan Abdul Mu’ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah) 91,5%.
Ada dua sayap pendidikan bagi tubuh Indonesia yang membawa terbang tinggi ke atas cita-cita luhur dan yang menghantarkan pada pencerahan kolektif bangsa, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Keduanya dalam upaya menerjemahkan dan merealisasikan Astacita ke-4 Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka, yakni memperkuat sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.
KURIKULUM CINTA
Dalam rangka menerjemahkan Astacita ke-4, membangun sumber daya manusia (SDM), Menteri Agama KH Nasaruddin Umar–selanjutnya saya sebut Kiai Nasar–menyatakan bahwa pendidikan di bawah Kementerian Agama saat ini berbasis kurikulum cinta dan kesadaran ekologi.
Kata cinta mengingatkan kita pada latar belakang dan aktivitas intelektual Kiai Nasar yang gandrung mengampu kitab Ihya Ulumuddin, karya sufi besar Imam al-Ghazali secara rutin di Masjid Istiqlal, yang ditayangkan juga di Youtube Masjid Istiqlal TV.
Kata ‘cinta’ dalam perspektif diskursus Islam tentu saja mengacu pada diskursus sufisme. Semua sufi berbicara tentang cinta. Di antara sufi yang terkenal mengusung cinta ialah Rabi’at al-‘Adawiyah, Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan Jalaluddin Rumi.
Di dalam kitab Ihya Ulumuddin, terdapat pembahasan al-mahabbah wa al-syauq (cinta dan kasmaran) pada jilid ke-4. Dan sebelumnya pada jilid ke-3 tentang adab al-ulfah wa al-ukhwah wa al-suhbah wa al-mu’asyarat (etika dalam merajut kasih sayang, persaudaraan, persahabatan, dan pergaulan sosial).
Imam al-Ghazali menekankan pentingnya mengedepankan cinta sebab cinta termasuk sikap yang menyehatkan dan membersihkan hati atau munjiyat. Seseorang yang merawat cinta pasti akan menebarkan perdamaian, toleransi, persaudaraan, dan persatuan. Semwntara itu, lawan dari cinta ialah kebencian, nafsu angkara murka, kekerasan, dan dendam yang termasuk sikap yang merusak hati atau muhlikah.
Seseorang yang merawat kebencian dan nafus angkara murka akan menebar provokasi, ujaran kebencian, intoleran, dan pemecah belah.
Karena itu, yang dikehendak Kiai Nasar tentang kurikulum cinta itu ialah kurikulum berbasis pemahaman keagamaan yang moderat. Sejatinya moderatisme merupakan identitas umat Islam. Allah SWT berfirman: ‘Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang moderat dan adil) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia)’ (QS Al-Baqarah: 143)
Imam Muhammad Fakhruddin al-Razi dalam kitab Tafsir Mafatih al-ghaib menafsirkan wasathan mengandung tiga makna. Pertama, wasathan (moderat) dalam konteks akhlak. Segenap moralitas dalam anjuran Islam ialah jalan tengah, moderat, dengan menjauhan diri dua sikap ekstrem yang buruk. Kedua, moderat dalam pengertian adil. ramadan
Ketiga, moderat dalam beragama. Al-Razi menyatakan bahwa umat Islam aalah mutawassithuna fi al-din bayna al-mufrith wa al-mufrath (orang-orang yang moderat dalam beragama di antara pemahaman yang reduksi dan melampaui batas).
Ciri moderat dalam beragama ialah berpikir manhaj (metodologis) dan berbasis khazanah Islam, logis, berimbang, toleran, menghargai kearifan lokal, komitmen kebangsaan dan taat hukum. Kemudian adil, antikekerasan dan ekstrimisme, berorientasi pada kemanusiaan, terbuka, serta dinamis.
Lawan dari wasathiyyat (moderat) ialah sikap ghuluw (ekstrem) dan israf (berlebihan). Al-Qur’an menegaskan, ‘Hai ahli kitab, janganlah kamu ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu’ (QS Al-Maidah: 77); ‘Janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan’ (QS. Al-An’am: 141); serta ‘Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan’ (QS. Al-A’raf: 31). ramadan
Dalam sebuah hadis, ‘Sebaik-baik segala sesuatu ialah yang ada di tengah’. Hadis tersebut bermakna universal mencakup berbagai hal, baik terkait dengan persoalan kehidupan sosial keduniawian maupun soal pemahaman keagamaan.
PENDIDIKAN BERMUTU
Jika melihat capaian yang sudah direalisasikan oleh Kemendikdasmen selama bekerja 100 hari, mencerminkan bahwa sang Menteri mengerti betul apa yang dibutuhkan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pendidik serta bagaimana caranya agar pendidikan Indonesia maju. Itu disebabkan karier sang Menteri Abdul Mu’ti ialah seorang guru dan dosen selain sebagai sekjen PP Muhammadiyah. Sehingga segudang pengalaman itulah modal yang kuat dalam merumuskan langkah-langkah dan program strategis bagi masa depan pendidikan Indonesia.
Setidaknya ada enam program dan langkah-langkah strategis yang direalisasikan Kemendikdasmen selama 100 hari bekerja. Jargon dan basis yang jadi landasan orientasi pendidikan ialah ‘pendidikan bermutu untuk semua’ dalam lanskap besar Astacita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka.
Pertama, peningkatan kesejahteraan guru. Sepanjang 2024, sebanyak 605.650 guru telah disertifikasi sebagai pendidik profesional. Melalui program pendidikan profesi guru (PPG), pada 2025 berencana menambah 806 ribu guru yang akan menerima sertifikasi. Kemendikdasmen berkomitmen dengan PPG sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan para guru. Prinsipnya kesejahteraan guru harus berbanding lurus dengan profesionalisme dan bisa untuk terus berinovasi dan berkreasi guna meningkatkan prestasi peserta didik.
Kedua, penyederhanaan pelaporan guru melalui E-Kinerja. Tujuannya agar para pendidik tidak menjadi beban dan masalah sulit dengan berbagai persoalan administrasi. Agaknya, sebagai pelaku pendidikan, Prof Mu’ti tahu betul kalau yang terpenting bagi pendidik ialah mengajar dan mendidik dengan baik dan berkualitas. Sehingga menghasilkan pendidikan yang bermutu, serta akan cukup mengganggu ketika para pendidik justru sibuk dengan tetek bengek administrasi.
Ketiga, redistribusi ASN dalam upaya memenuhi aspirasi masyarakat yang merasa distribusi guru masih belum merata di beberapa tempat dan memenuhi kekurangan guru di beberapa sekolah swasta.
Keempat, gerakan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat, yaitu bangun pagi untuk meningkatkan produktivitas sejak dini. Kemudian beribadah untuk membentuk karakter religius, berolahraga untuk menjaga kebugaran fisik, makan sehat dan bergizi. Hal itu untuk mendukung pertumbuhan optimal, gemar belajar untuk meningkatkan kecerdasan intelektual, bermasyarakat. Sehingga akan membentuk kepedulian sosial, serta tidur cepat untuk menjaga pola hidup sehat.
Tujuh kebiasaan anak tersebut termasuk LVE (living values education), pendidikan menghidupkan nilai luhur atau biasa dengan kata lain pendidikan karakter. Kata ‘kebiasaan’ itu artinya pembiasaan dan menghidupkan nilai-nilai luhur dalam praktik keseharian. Itu mengingatkan saya pada pandangan Thomas Lickona, seorang penggagas pendidikan karakter yang merumuskan tiga komponen penting yang harus ada dalam pendidikan. Hal itu moral knowing (pengetahuan moral), moral felling (perasaan moral atau kesadaran seseorang dalam bertindak sesuai dengan prinsip moral). Kemduian juga moral action (tindakan moral atau tindakan yang mentransformasikan niat untuk melakukan hal yang benar dan baik menjadi kenyataan dan faktual).
Pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Islam bisa sepadann dengan tadiyb (pembiasaan).
Thomas Lickona mengatakan bahwa, good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good habits of the mind, habits of the heart, and habits of action (karakter yang terdiri atas mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, serta melakukan yang baik sebagai kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan).
Kelima, cetak biru transformasi digital pendidikan. Keenam, Kemendikdasmen RAMAH (responsif, akuntabel, melayani, adaptif, dan humanis).
Ramadan ialah sekolah rohani. Sebulan penuh umat Islam berpuasa, tidak makan, minum, tidak berhubungan suami-istri, memerangi nafsu amarah. Kemudian juga menahan diri untuk tidak melakukan keburukan, serta meningkatkan amal ibadah dan amal saleh.
Kurikulum cinta dan ramah lingkungan Menteri Agama serta pendidikan karakter Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah selaras dengan spirit ramadan. Sebab dengan berpuasa, seseorang tumbuh dan menguat dalam jiwanyanya rasa cinta, empati, dan kepedulian sosial terhadap sesama. Puasa membentuk karakter seseorang yang penyabar, cerdas, disiplin, rendah hati, dan toleran.