
JALAN bukan sekadar aspal dan batu kerikil yang terbentang dari satu titik ke titik lainnya. Jalan
adalah simbol peradaban. Dan jalan adalah urat nadi pembangunan dan mobilitas warga negara.
Maka, ketika jalan rusak dibiarkan menganga, apalagi sampai menelan korban jiwa, yang rusak
bukan hanya infrastruktur—tapi juga nurani pengelola anggaran.
Hari ini, bila kita melintasi Pringsewu, Lampung, khususnya ruas jalan penghubung antar kecamatan dan jalur-jalur strategis provinsi, maka bersiaplah untuk menyaksikan potret
keterlantaran. Lubang-lubang besar menganga seperti jebakan maut, aspal mengelupas takberaturan, dan genangan air menutupi kerusakan seolah mengundang bahaya dengan tenang.
Bagi warga Pringsewu, ini bukan sekadar pemandangan biasa. Ini adalah rutinitas yang menyakitkan. Lebih tragis lagi, banyak nyawa telah melayang karena kecelakaan lalu lintas yang pemicunya adalah kondisi jalan yang buruk.
Apakah ini hanya karena keterbatasan anggaran? Ataukah ada sesuatu yang lebih gelap di balik angka-angka APBD?
Anggaran Infrastruktur: Nominal Besar, Realisasi Kabur
Setiap tahun, Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah Kabupaten Pringsewu
mencanangkan alokasi dana infrastruktur yang tidak kecil. Dalam APBD Lampung 2024. Misalnya, pos belanja modal untuk infrastruktur mencapai ratusan miliar rupiah.
Di tingkat kabupaten, Pringsewu juga mengalokasikan anggaran untuk pemeliharaan dan peningkatan jalan. Namun, ketika kita bandingkan data anggaran dengan kenyataan di lapangan, ada jurang lebar yang tak terjembatani.
Mengapa alokasi besar tidak berbanding lurus dengan hasil?
Pertama, kita perlu menelisik realisasi anggaran, bukan hanya serapan kuantitatifnya, tetapi efektivitas dan efisiensinya. Banyak proyek jalan yang tampak selesai hanya di atas kertas atau secara fisik dibangun asal-asalan dengan kualitas yang buruk. Ini menandakan adanya indikasi moral hazard dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Apakah pekerjaan yang kontraktor lakukan tidak kompeten? Apakah pengawasan teknis dilakukan dengan optimal? Ataukah ada praktik mark-up, kickback, dan kolusi antara oknum pejabat dan pihak rekanan?
Sebagai pengamat akuntansi publik, saya melihat bahwa sistem pelaporan keuangan pemerintah daerah sering kali gagal dalam mengungkap kualitas belanja. Laporan realisasi anggaran boleh jadi menunjukkan 90% serapan. Tapi itu tak berarti 90% pekerjaan selesai dengan baik. Value for money yang seharusnya menjadi prinsip dasar pengelolaan keuangan negara—efektivitas,
efisiensi, dan ekonomi—justru sering terabaikan.
Problem Struktural: Dari Tata Kelola hingga Partisipasi Publik
Kerusakan jalan yang sistematis tidak terjadi dalam ruang hampa. Ini mencerminkan gagalnya sistem tata kelola infrastruktur di daerah. Khususnya pada aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Pertama, aspek perencanaan seringkali tidak berdasarkan kebutuhan teknis dan data yang valid. Banyak proyek yang terdorong oleh kepentingan politis atau titipan elite lokal daripada kebutuhan mendesak masyarakat.
Jalan yang rusak parah justru tak tersentuh karena tidak masuk dalam
prioritas politis kepala daerah. Kedua, pelaksanaan proyek jalan kerap meliputi oleh keterlibatan aktor-aktor yang tidak berintegritas.
Rekanan yang terpilih bukan karena kompetensi, tapi karena kedekatan. Proses tender hanya formalitas. Ini membuka jalan bagi pekerjaan jalan yang asal jadi. Baru satu musim hujan, aspal sudah mengelupas.
Ketiga, lemahnya pengawasan. Fungsi pengawasan internal seperti Inspektorat Daerah dan pengawasan eksternal oleh DPRD belum berjalan optimal. Begitu pula partisipasi publik. Masyarakat sering tidak mendapat ruang yang cukup untuk mengawasi proses pembangunan jalan.
Padahal, transparansi dan akuntabilitas adalah prinsip kunci untuk mencegah penyimpangan. Dari Jalan Rusak ke Nyawa Melayang
Ini bukan sekadar isu teknis. Ini adalah krisis kemanusiaan yang dibiarkan menjadi rutinitas.
Ketika jalan rusak dibiarkan tanpa tindakan cepat, pemerintah sesungguhnya sedang bermainmain dengan nyawa rakyat.
Kecelakaan motor karena menghindari lubang, mobil terguling akibat jalan amblas, atau keterlambatan mobil ambulans yang harus melewati jalur berlubang adalah konsekuensi nyata dari kelalaian tata kelola.
Dan seperti biasa, setelah korban jatuh, barulah pejabat bergerak. Media ramai, menyalakan kamera, memperbanyak janji, dan dana darurat disebutkan. Tapi setelah itu? Jalan kembali rusak, rakyat kembali menderita.
Solusi: Jangan Tambal Sulam, Bangun Sistem
Sudah saatnya kita berhenti dengan pendekatan tambal sulam terhadap masalah ini. Berikut adalah beberapa solusi konkret yang harus didorong:
1. Audit Kinerja Infrastruktur Secara Berkala
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun BPKP harus berdorong untuk tidak hanya memeriksa kesesuaian anggaran, tetapi juga kualitas pekerjaan. Audit kinerja yang menilai outcome pembangunan jalan harus dijadikan kebiasaan, bukan pengecualian.
2. Transparansi dan Akses Data Publik
Pemda harus membuka akses publik terhadap rencana kerja dan anggaran belanja infrastruktur. Data proyek jalan harus tersedia secara daring dan real-time, termasuk siapa kontraktornya,
berapa nilai proyeknya, dan kapan selesai. Biarkan masyarakat ikut mengawasi.
3. Pemberdayaan Partisipasi Komunitas Lokal
Libatkan komunitas warga, LSM, dan akademisi dalam mengawasi pembangunan. Skema citizen report card, aplikasi pelaporan jalan rusak, atau audit sosial berbasis komunitas harus memberdayakan dan memfasilitasi secara serius.
4. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Jika terbukti ada korupsi atau kolusi dalam pembangunan jalan, penegak hukum harus bertindak tegas. Tak cukup hanya pemecatan administratif—harus ada efek jera berupa hukuman pidana dan ganti rugi negara.
5. Peningkatan Kapasitas dan Etika ASN
ASN di bidang infrastruktur harus memiliki integritas tinggi dan kompetensi teknis yang memadai. Sertifikasi teknis dan evaluasi kinerja harus menjadi dasar dalam penempatan, bukan politis atau koneksi personal.
Penutup: Jalan Menuju Peradaban
Pringsewu, seperti banyak wilayah lain di Indonesia, tidak kekurangan potensi. Tapi potensi itu bisa sia-sia bila akses jalan saja tak bisa dijaga dengan layak. Kerusakan jalan adalah cermin dari kerusakan tata kelola. Maka memperbaiki jalan sesungguhnya adalah memperbaiki cara kita mengelola daerah ini.
Rakyat tidak butuh janji manis, rakyat butuh jalan yang aman. Jangan tunggu ada korban berikutnya untuk bergerak. Karena setiap lubang di jalan kita hari ini, bisa jadi adalah lubang bagi reputasi para pemimpin daerah di masa depan.(*)