Jakarta (Lampost.co)–Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pilkada 2024 memicu kontroversi akibat tingginya anggaran yang harus negara keluarkan. Menurut Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli emnyebut banyaknya gugatan hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan indikasi ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu.
“Oleh karena itu, perlu evaluasi, bahkan investigasi terhadap para penyelenggara pemilu di daerah yang terbukti lalai,” ujar Lili kepada media pada Minggu, 9 Maret 2025.
Jika ada temuan pelanggaran, ia menekankan pentingnya pemberian sanksi tegas, termasuk pemecatan hingga proses hukum bagi pihak yang terlibat dalam pelanggaran serius. Langkah ini amat krusial untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu yang kini mengalami krisis kepercayaan.
Kritik Terhadap Kinerja KPU dan Bawaslu
Kritik tajam juga datang dari Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay. Ia menyoroti kelalaian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam verifikasi calon serta proses pemungutan suara. Akibatnya, PSU harus digelar di 24 daerah di Indonesia.
“Seharusnya mereka bertanggung jawab atas masalah ini. Jika ada penyelenggara yang memiliki kepentingan politik tertentu, mereka harus direkomendasikan untuk diberhentikan,” kata Hadar, 1 Maret 2025.
Ia juga meminta aparat penegak hukum untuk menyelidiki indikasi pelanggaran hukum. Termasuk praktik transaksional yang memungkinkan calon tidak memenuhi syarat tetap lolos dalam proses pemilu. Jika terbukti, sanksi pidana harus diterapkan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Anggaran PSU Membengkak Hingga Rp1 Triliun
Dampak dari kelalaian penyelenggara pemilu ini juga menyentuh aspek anggaran. Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, mengungkapkan bahwa 16 dari 24 daerah yang menggelar PSU tidak sanggup membiayai prosesPSU. Pemerintah pusat pun harus turun tangan untuk menutupi kekurangan anggaran yang perkiraannya mencapai Rp750 miliar dan bisa membengkak hingga Rp1 triliun jika termasuk biaya pengamanan.
“Kalau mau jujur, ini akibat lemahnya penyelenggara di bawah. Banyak kasus terkait ijazah palsu, mantan narapidana yang masih bisa lolos sebagai calon, dan masalah administratif lainnya yang sebenarnya bisa tercegah sejak awal,” ujar Dede, Jumat, 7 Maret 2025.
Ia menambahkan bahwa skema pembiayaan PSU masih dalam tahap pembahasan dengan pemerintah. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah menggunakan dukungan dari pemerintah provinsi untuk membantu daerah yang tidak mampu membiayai PSU secara mandiri.
Evaluasi dan Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu
Meningkatnya jumlah PSU menjadi alarm bagi penyelenggara pemilu untuk lebih cermat dalam menjalankan tugasnya. Evaluasi menyeluruh terhadap KPU dan Bawaslu harapannya dapat mencegah kelalaian yang menyebabkan pemborosan anggaran. Juga berkurangnya kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
Dengan adanya evaluasi ketat dan transparan, diharapkan pemilu mendatang dapat berjalan lebih baik, minim pelanggaran. Serta mengedepankan asas keadilan dan profesionalisme dalam setiap prosesnya.