
Rodrikson Alpian Medlimo
(In House Legal Counsel PT Moon Rabbit Indonesia Technology – UWI Homes)
Delapan puluh tahun yang lalu asa memperjuangkan kehidupan bangsa yang bebas dari intervensi negara lain itu berhasil diraih dengan penuh perjuangan. Tetesan darah para pejuang terasa tidak sia-sia ketiga kata merdeka berhasil diproklamirkan.
Tak terasa, tahun ini Indonesia memasuki usia yang ke-80. Angka itu terdengar besar, tapi apakah kita benar-benar sudah merdeka seperti yang dijanjikan? Kita punya bendera, kita punya lagu kebangsaan, kita punya lambang garuda. Tapi kemerdekaan sejati bukan soal simbol, melainkan soal janji yang pernah dikumandangkan: melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Janji itu dulu ditebus dengan darah, air mata, dan nyawa. Namun, hari ini justru kita berdiri di persimpangan jalan, menatap cermin yang memantulkan dua wajah: wajah diri kita, dan wajah Indonesia yang masih penuh luka, celah, dan pekerjaan rumah.
Melindungi Rakyat Bukan Sekadar Menjaga Batas Negara
Dulu, melindungi berarti mengusir penjajah dari tanah air. Kini, musuh kita lebih licik dan sering tak kasat mata. Disinformasi mengoyak persatuan, perundungan siber merenggut nyawa remaja, korupsi menguras anggaran publik, daulat hukum seakan ilusi semata dan kerusakan lingkungan merampas masa depan anak-cucu.
Indonesia memang punya tentara dan polisi, tetapi kedaulatan abad ini juga menuntut “pasukan” lain: pendidikan yang berkualitas dan merata, kemudahan lapangan dan penghidupan layak, kesehatan dan sanitasi yang memadai, warga yang melek digital, pejabat yang berintegritas, komunitas yang saling melindungi dan tentunya penegakan hukum yang bermartabat.
Melindungi berarti berani menolak hoaks walau datang dari orang dekat, berani membela korban meski risiko dibenci, dan berani melawan perusak lingkungan walau dianggap mengganggu “investasi”.
Jika kita tak sanggup menjaga diri sendiri dari kebohongan, kebencian, dan kerakusan, bagaimana mungkin kita menagih janji perlindungan dari negara?
Kesejahteraan Tak Berarti Apa-apa Jika Tak Merata
Gedung-gedung tinggi menjulang di Jakarta, Surabaya, dan kota besar lainnya. Jalan tol membentang, bandara dibangun megah. Itu semua patut dibanggakan. Tapi statistik berbicara lain: menurut BPS, masih ada sekitar 25 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Di desa-desa, petani menjual gabah dengan harga yang bahkan tak cukup untuk menutup biaya pupuk. Guru honorer mengabdi belasan tahun dengan gaji tak sampai UMR.
Kesejahteraan sejati tidak diukur dari seberapa cepat kita membangun tol, tapi seberapa luas manfaatnya dirasakan rakyat.
Selama anak-anak di Papua masih harus menempuh puluhan kilometer untuk sekolah, selama nelayan di pesisir tak mampu membeli solar untuk melaut, selama itu pula janji kesejahteraan belum tuntas.
Gotong royong masa kini berarti saling menopang, bukan menunggu bantuan. Sebab selama ada satu warga yang tertinggal, kesejahteraan kita semua cacat.
Pendidikan yang Mencetak Pemikir, Bukan Sekadar Pekerja
Sekolah dan universitas telah berdiri di hampir setiap kota, tapi kita perlu bertanya jujur: apakah pendidikan kita sudah mencerdaskan, atau sekadar menghasilkan lulusan yang siap bekerja tanpa kemampuan berpikir kritis?
Hasil survei PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam literasi membaca dan sains. Ini alarm keras. Mencerdaskan bangsa bukan hanya menghapus buta huruf, tapi juga melatih keberanian bertanya, membentuk nalar kritis, dan membiasakan generasi untuk mencari kebenaran, bukan sekadar menerima jawaban.
Kalau pendidikan hanya melahirkan pekerja tanpa daya pikir, kita akan punya generasi yang mudah digiring propaganda, mudah diadu domba, dan sulit berinovasi. Pendidikan adalah benteng terakhir melawan kebodohan dan ketidakadilan, dan benteng itu harus kita perkuat sekarang.
Daulat Hukum Seolah Ilusi Semata
Belakangan ini kedaulatan hukum Indonesia acapkali dipertanyakan. Tegaknya hukum seolah-olah hanya ditujukan bagi mereka yang lemah dan tak berdaya, sebaliknya mereka yang kuat dan punya kuasa hampir tak tersentuh hukum. Di sinilah pentingnya kehadiran hakim sebagai wakil Tuhan dalam memutus suatu perkara dan memberikan keadilan bagi semua pihak.
Hakim merupakan pilar penting dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Berkaca dari kasus yang baru saja terjadi, yakni dugaan korupsi Impor Gula yang dilakukan oleh Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (atau yang akrap disapa Tom Lembong) maka berbagai pertimbangan hakim patut dipertanyakan.
Seyogianya pertimbangan Hakim dalam memvonis suatu perkara tidak hanya didasarkan pada pertimbangan Legal Formal semata. Tetapi mempertimbangkan berbagai aspek lainnya karena pada dasarnya Hakim bukanlah corong undang-undang (bouche delaloi). Inilah yang menjadi masalah penting yang harus segera dibenahi dalam konteks penegakan hukum oleh hakim. Hakim harus menyadari bahwa Ilmu Hukum tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan cabang Ilmu lainnya, misalnya Kriminologi, Sejarah Hukum, Psikologi Hukum. Dengan berbagai bantuan cabang ilmu lainnya itulah, hakim harus bisa menemukan hukum (rechtsvinding) yang ideal yang pada akhirnya bermuara pada keadilan substantif bukan sebaliknya berpijak pada keadilan prosedural karena sekali lagi hakim bukanlah corong undang-undang (bouche delaloi).
Janji Kemerdekaan Bukan Milik Pemerintah Saja
Delapan puluh tahun kemerdekaan bukanlah hadiah yang selesai begitu saja. Ia adalah pekerjaan tanpa akhir, tanggung jawab yang diwariskan kepada setiap generasi. Janji itu tidak untuk dihafalkan, tetapi untuk diwujudkan setiap hari, di setiap sudut negeri.
Kita adalah penerus cita-cita, penjaga kedaulatan, dan pembangun masa depan. Kalau kita hanya pandai menagih janji tapi tidak ikut bekerja mewujudkannya, kita sedang mengkhianati pengorbanan para pendiri bangsa.
Merdeka bukan hanya hak untuk menuntut, tapi juga kewajiban untuk memberi. Kalau kita ingin Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur, kita tak bisa menunggu orang lain bergerak lebih dulu. Kitalah yang harus memulainya. Bukan besok, bukan tahun depan, tapi hari ini. Karena sejarah tidak akan menunggu kita siap