Bandar Lampung (Lampost.co) — Komunitas Berkat Yakin (KoBer) menjadi perwakilan Lampung dalam gelaran Festival Teater III 2025 di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, 24-25 September 2025. Dalam kesempatan itu, sutradara Ari Pahala Hutabarat, KoBer mementaskan teater berjudul “Hilang Huma(n): Sebuah Esai Performatif”.
Kemudian mengangkat tema besar festival “Pangan: Tanah, Air, dan Ingatan”. Pertunjukan ini terbangun dengan logika deduktif: membaca krisis pangan global dan nasional. Lalu menyoroti bagaimana sistem pertanian monokultur merampas ruang hidup. Kemudian memperlihatkan dampaknya pada masyarakat tradisi yang kehilangan ladang, rumah, bahkan tubuh ekologisnya.
Selanjutnya Ari Pahala Hutabarat menegaskan, istilah esai terpilih karena sifatnya yang terbuka, menghubungkan data, sejarah, dan subjektivitas artistik. Pihaknya menghadirkan paparan data tentang krisis pangan, monokultur, dan kehilangan tanah serta identitas yang terkemas secara agitatif.
“Pertunjukan ini tidak terbangun dari narasi dramatik. Tubuh aktor tidak membangun karakter atau menyalurkan emosi, melainkan media yang mentransmisikan intensitas energi. Kemudian membuat agitasi tidak hanya hadir sebagai pengalaman intelektual. Melainkan juga menjangkau motorik penonton,” jelasnya, Selasa, 30 September 2025.
Kemudian dengan format esai performance, muncul konsekuensi dan peluang untuk menghadirkan pertunjukan lintas disiplin—tubuh, musik, cahaya—yang menjauh dari bentuk dramatik. Ini sebagai cara alternatif menghubungkan data sejarah, teori ekologi, dan pengalaman konkret masyarakat adat.
“Secara garis besar, pertunjukan dibagi menjadi 6 fragmen utama,” papar Ari.
Fragmen
Sementara Fragmen 1 membuka dengan kisah nelayan yang kehilangan kepastian hidup akibat ‘laut’ yang berubah—simbol dari hilangnya ingatan ekologis masyarakat tradisi. Fragmen 2 merefleksikan kehancuran hutan dan ladang sebagai hilangnya horizon pengalaman dan teknologi ekologis tradisional.
Kemudian Fragmen 3 menampilkan hadirnya industri dan negara yang, lewat garis peta dan kebijakan agraria, memutus relasi manusia dengan tanah. Tubuh manusia menjadi ahistoris/kehilangan sejarah. Sementara itu Fragmen 4 menghadirkan suara masyarakat adat yang melawan perampasan tanah dan program food estate yang justru mempercepat krisis pangan.
Lalu Fragmen 5 memperlihatkan kontras antara tubuh kota yang hilang akar dan tubuh agraris yang menyimpan ingatan ekologis. Fragmen 6 menutup dengan refleksi politik saat ini: kebijakan tanah dan pangan di era Jokowi yang memperparah kerentanan petani.
“Lalu ditutup dengan paduan suara yang menyerukan kembalinya tanah, langit, laut, dan jagad ke dalam diri manusia. Serta ironi lagu Rayuan Pulau Kelapa,” katanya.
Selain membuka ruang refleksi atas isu pangan dan ekologi, pementasan ini juga memperkuat jejaring seniman teater Sumatra. Telah hadir 10 grup penampil, yang masing-masing telah membagikan keprihatinan yang sama akan krisis pangan namun dengan pilihan gaya yang berbeda.