APA makna Pilkada Serentak tahun 2024 di Sai Bumi Ruwa Jurai ini? Sebuah topik yang perlu dikaji kembali, secara bersama dari kacamata kritis. Hampir sebagian besar aktivis, pengamat, atau partisipan hanya terfokus pada pasangan calon (paslon) yang akan dipilih sebagai pemenang. Bagaimana sudut pandang signifikan yang perlu dikemukakan di sini?
Pemilih Budiman
Kajian yang bertumpu pada paslon adalah khas model Harold D. Lasswell (1948), perspektif tertua dan paling berpengaruh di dunia komunikasi politik. Analisis bertumpu semata-mata pada komunikator ini mengekspos tiga sudut: pathos (paslon piawai menggugah emosi/perasaan), ethos (tindak tanduknya etis), dan logos (memiliki kinerja yang faktual). Jadi, penampilan atau performan dibangun sedemikian rupa membentuk citra paslon itu hero, pemimpin amanah, memberi harapan, atau menjanjikan.
Sebenarnya, di era internet dan gadget saat ini, cara pandang Lasswell sudah (agak) dilupakan. Karena, di akhir abad 20, pendekatan deskripsi dan prediksi ini sudah mendapat tantangan dari para pemikir makna. Pendekatan makna, memandang yang dimaksud mengetahui adalah memahami. Bahkan, David Deutsch dalam The Fabric of Reality (2023) menegaskan suatu prediksi—bahkan prediksi universal yang sempurna—tidak bisa menggantikan peran pemahaman.
Lalu, riset di Departemen Komunikasi UI 70% S-1, 80% S-2, dan 90% S-3 beralih menggunakan pendekatan kualitatif (Mulyana, 2007). Dan, pada hari jadi ke-75 tahun International Communication Association (ICA) digelar konferensi internasional di Denver, Colorado, AS, pada 12—26 Juni 2025 dengan tiga tema Disrupting and Consolidating, (a) peran akademisi dalam transformasi sekaligus stabilisasi; (b) penelitian tidak linier tapi mengandung dua aspek perubahan cepat sekaligus konsolidasi; dan (c) studi komunikasi sebagai disiplin disrupted (mengganggu, perubahan radikal) dan resilient (pegas, elastis).
Oleh karena itu, Pilkada Serentak 2024 perlu ditelaah dari sudut pandang berbeda, yaitu memahami pemilih, masyarakat pemilik hak pilih, atau sang pemilik kedaulatan. Dalam hal ini bisa digunakan pendekatan partisipasi Miriam Budiarjo tentang cara berpartisipasi. Bila digunakan definisi Huntington, jauh dari fakta empiris, bahkan definisi yang moderat dari Nie & Verba bahwa “partisipasi sebagai kegiatan pribadi warga negara yang legal untuk memengaruhi seleksi pejabat negara”, tidak terjadi secara intensif, maka pemilih menjadi subjek-subjek yang budiman.
Dalam piramida partisipasi, yang tergolong aktivis seperti pejabat publik, pimpinan partai politik, pemimpin kaum kepentingan atau penyokong dana, organisasi masyarakat sipil, bahkan mahasiswa memberi peluang luas kepada siapa saja paslon dan berasal dari mana saja untuk mengikuti dan berkompetisi pada Pilkada Serentak 2024. Mahasiswa dengan santun membuka forum dialog tanpa kritik-kritik pedas. Kelompok organisasi sipil dan organisasi wartawan memberi dukungan pilkada damai. Forum-forum publik sepi dari kritik tajam kepada para paslon baik di provinsi maupun di 15 kabupaten dan kota.
Forum kampanye debat terbuka cenderung dikemas oleh perumus dan panelis, bukan pola debat dinamis, lebih sebagai forum mengemukakan ide, menyampaikan penjelasan di hadapan massa pemilih melalui media, atau tanya jawab yang terukur hati-hati antara moderator dan paslon atau antarpaslon. Hanya di satu dua kabupaten debat berjalan dinamis layaknya panggung debat publik. Dari kelompok-kelompok masyarakat tidak ada gugatan atau konfirmasi pada kelayakan paslon atau kepatutan menjadi calon pemimpin, baik sebagai petahana maupun pada penantang. Koalisi-koalisi yang dikonstruksi sebagai kekuatan pemenangan cenderung ditampilkan sebatas slogan atau hadir saja sebagai pendukung setia.
Sebaliknya, penampilan paslon ada kecenderungan menyuguhkan diri di panggung dramaturgi yang menggugah perasaan, takut salah, basa-basi, defensif, normatif, bahkan menolak perdebatan. Tidak mencuat sebuah perdebatan yang konstruktif, adu argumentasi dengan dasar-dasar pemikiran rasional, atau saling kritik sebagai feed back yang direspons cerdas dan ilustratif. Ada kecenderungan saling tenggang rasa, senjang sebagai forum debat optimal agar pemilih bisa mempertimbangkan pilihan masak kepada paslon yang memiliki visi, misi, dan program menjanjikan.
Masyarakat sudah memiliki kematangan sebagai pemilih otonom. Bahkan sikap masyarakat pemilih menerima paslon dari unsur apa saja, baik petahana maupun penantang dengan setara, menggambarkan kebaikan hati warga untuk bersilaturahmi dengan paslon sebagai calon pemimpin yang akan dipilihnya. Bagi pemilih, yang dalam lapisan piramida partisipasi politik, jumlahnya paling besar menunjukkan perilaku moderat, menjaga persatuan, tidak menolak kehadiran paslon, ikut bergembira dalam pesta demokrasi yang disediakan paslon. Mereka tidak pilih-pilih kepada paslon tertentu dan menolak paslon yang lainnya. Gambaran ini mencerminkan sebuah kematangan berdemokrasi.
Bonus Sang Pemenang
Merenungkan perilaku yang ditampilkan pemilih menunjukkan budaya partisipasi politik yang sehat. Oleh karena itu, pada hari pemungutan suara pada Rabu, 27 November 2024, dan selanjutnya proses perhitungan perolehan suara, unsur-unsur utama yang terlibat, baik penyelenggara maupun peserta pilkada serentak, sungguh-sungguh mengingat masyarakat pemilih yang sudah menampilkan kultur demokrasi yang dijiwai oleh semangat harmoni, gotong royong, silaturahmi, dan menjaga persatuan.
Semua elemen, penyelenggara pilkada, peserta, aparatur pemerintah, TNI, dan Polri, serta unsur-unsur kelembagaan lain yang berkepentingan sungguh-sungguh bersikap jujur, bersih, dan adil. Tidak ada lagi perilaku yang mengedepankan ego, tinggi hati, merasa paling memiliki otoritas, atau ingin menang sendiri pada Pilkada Serentak 2024 kali ini.
Kemajuan-kemajuan dan praktik-praktik baik (positif) yang sudah muncul ke permukaan, terus dirawat dan dipupuk bersama-sama. Terjadinya persoalan, kasus ekstrem, gejolak atau kegaduhan diletakkan sebagai blessing in disguise atau bencana menjadi berkah, agar semua unsur penyelenggara memiliki persepsi kohesi bersama-sama, waspada, dan tekad kuat menghasilkan pilkada serentak yang berintegritas.
Akhirnya, bila kita menghayati dan merenung sejenak, paslon yang terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota dalam Pilkada Serentak 2024 hakikatnya ibarat mendapat bonus dari budaya politik pemilih. Sekalipun jangan dilupakan kebaikan hati masyarakat ini. *