Jakarta (Lampost.co) — Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Prabowo Subianto menarik draf RUU KUHAP yang akan DPR sahkan dalam sidang paripurna pekan depan. Desakan itu muncul setelah Komisi III DPR dan pemerintah menuntaskan pembahasan Tingkat I hanya dalam dua hari. Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai proses legislasi RUU KUHAP berlangsung tergesa dan berisiko melemahkan perlindungan hak warga negara.
Poin Penting:
-
Koalisi Masyarakat Sipil menilai proses pembahasan RUU KUHAP tergesa dan tidak transparan.
-
Pasal undercover buy dan controlled delivery berbahaya.
-
Koalisi mendesak pembahasan ulang dan perombakan substansi RUU KUHAP.
Ketua Umum YLBHI sekaligus perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Muhammad Isnur, menilai proses pembahasan RUU KUHAP tidak transparan. Ia menyebut DPR dan pemerintah mengabaikan banyak masukan yang disampaikan dalam RDPU maupun melalui dokumen tertulis.
“Proses pembahasan terlihat terburu-buru demi mengejar pengesahan agar RUU KUHAP berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026,” kata Isnur, Jumat, 14 November 2025.
Baca juga
Ia menegaskan proses seperti itu tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian legislasi.
RUU KUHAP Banyak Masalah
Selain proses yang terlalu cepat, Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti substansi RUU KUHAP yang memuat pasal bermasalah. Mereka menyebut terdapat pasal karet, pasal yang berpotensi disalahgunakan, serta aturan yang melemahkan mekanisme pengawasan peradilan.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mengkritik minimnya respons DPR dan pemerintah terhadap catatan serta masukan yang akademik ajukan pada tahap RDPU. Karena itu, mereka menilai pembahasan RUU KUHAP tidak memenuhi standar partisipasi publik bermakna.
Pasal Undercover Buy Dinilai Berbahaya
Menurut dia, salah satu pasal paling berbahaya adalah Pasal 16 tentang undercover buy dan controlled delivery. Aturan itu sebelumnya hanya berlaku untuk penyidikan tindak pidana khusus seperti narkotika. Namun, dalam RUU KUHAP kewenangan ini berubah menjadi metode penyelidikan yang berlaku untuk seluruh jenis tindak pidana.
Perubahan itu tidak memiliki batasan jelas dan tidak mewajibkan pengawasan hakim. Situasi tersebut bisa membuka ruang penjebakan atau entrapment oleh aparat.
“Kewenangan luas tanpa pengawasan berpotensi menciptakan tindak pidana dan menentukan pelaku secara rekayasa,” ujar Isnur.
Karena itu, ia menilai pasal tersebut dapat mengganggu integritas penegakan hukum dan merusak prinsip due process of law.
Koalisi Desak Prabowo Tarik Draf RUU KUHAP
Koalisi Masyarakat Sipil meminta Presiden Prabowo menarik draf RUU KUHAP tanggal 13 November 2025 dari agenda paripurna. Mereka juga meminta pemerintah dan DPR merombak substansinya melalui pembahasan ulang yang lebih terbuka.
Menurut koalisi, RUU KUHAP harus memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check and balances. Karena itu, mereka menyerukan agar konsep perubahan KUHAP mengacu pada draf tandingan versi masyarakat sipil.
Koalisi juga meminta pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan pemberlakuan KUHP baru sebagai alasan mempercepat pengesahan RUU KUHAP yang masih bermasalah.
Minta DPR Hentikan Pengesahan yang Tergesa
Koalisi juga menilai percepatan pengesahan RUU KUHAP berpotensi mengurangi perlindungan HAM dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang. Karena itu, mereka mendesak agar ada pembahasan ulang dengan melibatkan akademisi, organisasi advokasi, dan masyarakat luas.
RUU KUHAP telah menunggu selama lebih dari 40 tahun sehingga menurut koalisi, pembahasannya tidak perlu kebut dalam dua hari.








