Jakarta (Lampot.co) — Perjuangan panjang untuk keadilan dan kesejahteraan hakim kini mencapai titik kulminasi. Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, yang telah menjadi denyut nadi perjuangan keadilan, akan memasuki fase kritis melalui aksi cuti bersama pada 7–11 Oktober 2024 mendatang. Sebuah langkah terakhir (ultimum remedium) yang diambil dengan tekad bulat dan keberanian tinggi oleh para hakim di seluruh penjuru negeri.
Demikian disampaikan Fauzan Arrasyid, Juru Bicara Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, dalam keterangannya, Sabtu (28/9). Menurut dia, aksi cuti bersama ini bukanlah pilihan yang diambil dengan tergesa-gesa. Sejak 2019, para hakim melalui organisasi profesinya, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), telah berjuang dengan sabar dan gigih untuk mendorong perubahan terhadap PP 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim.
Berbagai upaya resmi dan formal telah ditempuh, dengan harapan agar pemerintah memberikan perhatian yang serius dan langkah nyata terhadap tuntutan tersebut. Namun, hingga saat ini perjuangan itu belum mendapatkan tanggapan yang sepadan dari pemerintah.
Baca juga: Jumlah Guru Berlebih Berdampak Pada Sulitnya Mendapatkan Kesejahteraan
“Oleh karena itu, dengan berat hati namun penuh keyakinan, aksi cuti bersama ini menjadi pilihan terakhir demi memperjuangkan martabat dan kesejahteraan hakim di Indonesia,” kata Fauzan.
Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia ini membawa empat isu penting yang menjadi inti perjuangan. Pertama, Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2018 terhadap PP 94 Tahun 2012. “Sebuah langkah yang selama ini di abaikan oleh pemerintah, padahal memiliki dampak signifikan terhadap kesejahteraan hakim,” katanya.
Kedua, terang Fauzan, pengesahan RUU Jabatan Hakim, sebuah undang-undang yang akan menjamin kemandirian dan martabat hakim sebagai pilar utama peradilan. Kemudian, peraturan perlindungan jaminan keamanan bagi hakim, serta pengesahan RUU Contempt of Court atau sebuah upaya untuk menjaga kewibawaan peradilan dan memberikan perlindungan terhadap proses peradilan dari segala bentuk intervensi dan penghinaan.
Dapat Dukungan
Fauzan menyebut gerakan ini telah mendapatkan dukungan yang sangat besar dari berbagai kalangan. Dukungan datang dari hakim tingkat pertama yang berjuang di seluruh Nusantara, hakim tingkat banding, hingga beberapa Hakim Agung yang turut menyuarakan pentingnya gerakan tersebut.
Tak hanya dari kalangan hakim, solidaritas ini juga mendapatkan dukungan dari civil society, kelompok akademisi, dan lembaga-lembaga yang peduli terhadap independensi peradilan di Indonesia. “Dukungan mereka menjadi bukti bahwa perjuangan ini adalah milik kita semua, milik bangsa Indonesia yang mendambakan peradilan yang adil dan berwibawa.”
Pun hingga Jumat (27/9), imbuhnya, sebanyak 1.326 hakim telah bergabung dalam gerakan ini. Lebih dari 70 orang di antaranya menyatakan akan hadir langsung di Jakarta dengan biaya pribadi. Ini sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang di nilai lambat dalam menanggapi tuntutan hakim.
“Ini adalah bukti nyata bahwa perjuangan ini bukanlah sekadar wacana. Melainkan gerakan yang di dorong oleh semangat solidaritas dan tanggung jawab bersama,” ujar Fauzan.
Menurut dia, pelaksaaan aksi cuti bersama ini dalam tiga skema. Pertama, hakim yang mengambil cuti lalu berangkat ke Jakarta untuk bergabung dalam barisan hakim yang melakukan aksi solidaritas. Kedua, hakim yang mengambil cuti dan berdiam diri di rumah sebagai bentuk dukungan kepada rekan-rekannya yang berjuang di Jakarta.
Terakhir, hakim yang hak cuti tahunannya sudah habis akan di dorong untuk mengosongkan jadwal sidang pada 7-11 Oktober 2024. Namun tetap menjaga agar hak-hak masyarakat pencari keadilan tidak di rugikan.
Fauzan menegaskan, gerakan Solidaritas Hakim Indonesia adalah panggilan jiwa untuk setiap insan yang masih percaya pada kekuatan keadilan. Langkah ini bukan hanya perjuangan para hakim, tetapi seruan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berdiri di sisi kebenaran.