Jakarta (Lampost.co)–Menjelang masa kampanye pemilu serentak 2024 Dewan Pers mewaspadai agar media tidak mengumbar politisasi agama.
Ajakan itu belajar dari adanya polarisasi masyarakat Indonesia akibat derasnya politisasi agama dari Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, serta Pemilu 2019, yang tak jarang media turut meramaikannya, sehingga terjadi berbagai praktik diskriminasi, intoleransi, kriminalisasi sampai persekusi.
Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman (PPIK) merupakan aturan yang diterbitkan Dewan Pers pada akhir tahun 2022. Instrumen ini diharapkan oleh Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto mampu menjadi panduan bagi kalangan jurnalis dan media dalam memberitakan isu-isu yang terkait kelompok minoritas.
“Pedoman pemberitaan Isu Keberagaman harus menjadi oksigen yang mengalir dalam darah wartawan Indonesia dan mewarnai hidup pers Indonesia,” kata Tri Agung yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas dalam Diskusi Publik yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) bekerja sama dengan International Media Support (IMS), Selasa, 10 Oktober 2023 di Hotel Gren Alia Jakarta.
Tri Agung menyebut PPIK juga menjadi salah satu materi dari peraturan-peraturan yang disampaikan ketika Dewan Pers menggelar uji kompetensi terhadap wartawan-wartawan atau jurnalis (UKW/UKJ) di 34 provinsi.
Pentingnya aturan baru Dewan Pers ini bagi kerja-kerja jurnalistik turut disampaikan Shinta Maharani, jurnalis Tempo yang sekaligus membidangi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia. Shinta menyebut masih banyak pemberitaan media yang sepenuhnya belum menerapkan Kode Etik jurnalistik ketika meliput isu kelompok rentan, termasuk minoritas agama atau kepercayaan dan keyakinan.
Dalam diskusi Sejuk yang bertema Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman (PPIK) Jelang Pemilu Serentak 2024 ini Shinta menjelaskan bahwa jurnalis masih banyak yang belum tahu cara memverifikasi secara ketat atau berlapis ketika meliput kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi.
“Jurnalis kurang gigih dalam memverifikasi informasi. Belum semua media massa taat pada pemenuhan jurnalisme berperspektif hak asasi manusia, membela korban, dan kritis pada kekuasaan sebagaimana menjadi semangat dari PPIK,” ungkap Shinta ketika merespons pertanyaan Saidiman Ahmad, Program Manager Saiful Mujani Research & Consulting yang berlaku sebagai moderator diskusi.
Temuan tersebut disampaikan Shinta berbasis data assessment atau survei yang menggunakan indikator PPIK Sejuk terhadap 12 media. Keduabelas media tersebut terlibat dalam liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah yang digelar Sejuk-IMS dan Shinta Maharani menjadi salah satu mentornya.
Sementara Manajer Program Sejuk Yuni Pulungan dalam sambutan diskusi publik menjelaskan bahwa PPIK harus menjadi aturan Dewan Pers yang tidak sekadar diterbitkan, tetapi implementasinya penting untuk dikawal bersama, mengingat tren diskriminasi, intoleransi, dan persekusi terhadap kelompok minoritas terus terjadi dan media tidak banyak memberi ruang pemberitaan pada isu ini.
“Media massa tidak mengangap penting isu keberagaman. Kalaupun memberitakan, jurnalis dan medianya lebih menyampaikan peristiwanya lewat narasumber-narasumber resmi tanpa mempertimbangkan dampak pemberitaan terhadap korban. Karena itu, Sejuk mengajak 12 media di berbagai wilayah membuat kolaborasi liputan bertema #SemuaBisaBeribadah sebagai salah satu cara untuk menerapkan PPIK di media,” papar Yuni.
Yuni menegaskan bahwa Sejuk berkomitmen mendorong pelembagaan PPIK bersama Dewan Pers di media-media melalui berbagai kegiatan yang dilakukan di daerah maupun nasional.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Kaltimtoday.co Ibrahim Yusuf menegaskan keharusan jurnalis bersetia pada PPIK dan berusaha menerapkan indikator-indikatornya.
Sri Agustina