Jakarta (lampost.co)–Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mempertanyakan langkah Gubernur Banten yang menonaktifkan Kepala SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria, setelah insiden dugaan penamparan terhadap siswa karena kedapatan merokok di area sekolah. P2G menilai kebijakan tersebut perlu uji apakah telah melalui prosedur resmi sesuai regulasi, bukan semata-mata karena tekanan publik atas kasus yang viral.
Kabid Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, mengingatkan bahwa Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dalam Pasal 39 telah mengatur mekanisme penanganan kekerasan secara berurutan. Mulai dari penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan, hingga penerbitan rekomendasi.
Namun, hingga kini tidak terlihat adanya pelibatan Satgas TPPK yang seharusnya terbentuk oleh pemerintah daerah untuk menangani kasus ini. Karena itu, P2G mempertanyakan transparansi proses sebelum keputusan penonaktifan.
Selain itu, P2G menilai laporan orang tua siswa ke kepolisian terlalu reaktif. Menurut Iman, regulasi pendidikan dari tingkat undang-undang hingga aturan teknis sudah jelas dan lengkap, tinggal bagaimana sekolah dan orang tua menjalankan aturan dengan kesadaran kolektif. Ia menegaskan, tujuan pendidikan tidak akan tercapai jika setiap persoalan langsung dibawa ke ranah hukum tanpa ruang dialog.
Komunikasi Konstruktif
P2G mendesak Pemprov Banten untuk mengutamakan komunikasi konstruktif antara pihak sekolah, komite, dan orang tua agar situasi tidak semakin memanas. Langkah ini penting untuk memastikan siswa tetap bisa belajar tanpa gangguan. Sekaligus mencegah aksi mogok belajar yang merugikan peserta didik secara luas.
P2G juga mengingatkan aparat penegak hukum agar mempertimbangkan pendekatan Restorative Justice sebagaimana Peraturan Polri No. 8 Tahun 2021 yang berlaku untuk kasus berintensitas ringan. Dengan cara itu, penyelesaian bisa lebih berkeadilan dan berorientasi pada pemulihan, bukan semata pada hukuman.