Bandar Lampung (Lampost.co) — Akademisi Universitas Lampung, menyayangkan dua kasus kekerasan seksual di Kecamatan Way Serdang serta pemerkosaan anak berusia 15 tahun yang berakhir damai.
Ahli Hukum Pidana Universitas Lampung, Rini Fathonah menyayangkan pengambilan jalur damai oleh aparat penegak hukum atau restorative justice (RJ) merupakan upaya penyelesaian masalah yang terlaksana pada luar jalur persidangan.
Dalam penerapan RJ ini, kata Rini seharusnya hanya untuk tindak pidana ringan.
“Kalau kekerasan seksual di Mesuji tidak memenuhi kriteria untuk melakukan Restoratif Justice karena termasuk dalam tindak pidana berat,” kata Rini, Rabu, 13 Maret 2024.
Ia menjelaskan, apabila pelaku dari tindak kekerasan seksual ini adalah orang dewasa dan korbannya anak, maka bisa terkena undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang perlindungan anak.
“Dalam aturan itu pelaku bisa kena sanksi kebiri dan ancaman hukuman pidana mati untuk pelaku tindak pidana kekerasan siswa terhadap anak,” jelas Rini.
Sementara dalam kasus kekerasan seksual pelaku dan korbannya sama-sama anak yang masih bawah umur, maka memungkinkan untuk menempuh jalur lain selain jalur hukum, yaitu dengan izin kawin ke pengadilan agama.
“Ini memungkinkan dalam undang-undang perkawinan pasal 7 ayat 2, dengan alasan darurat maka jika memang orang tua dari pihak laki-laki maupun perempuan menyetujui maka bisa izin kawin,” kata dia.
Dalam menangani kasus kekerasan seksual, Rini menuturkan bahwa penting untuk bicara bersama dan gelar perkara bersama untuk memutuskan jalur hukum yang akan berjalan.
Sebab ia menilai tidak semua kasus bisa terselesaikan dengan jalur RJ. Sementara dalam beberapa kasus, Rini mengatakan bahwa penerapan RJ kerap melampaui batas awal dari pertama aturan ini telah terbuat.
Padahal, jalur RJ hanya dapat berjalan apabila menyangkut tindak pidana ringan atau dengan kerugian Rp2.500.000.
“Tapi sekarang RJ ini sudah kebablasan. Dalam tindak pidana kekerasan seksual seharusnya tidak boleh. Akhirnya upaya damai ini tidak bisa memberikan efek jera kepada pelaku, dan tidak bisa memberikan perlindungan kepada korban,” ujarnya.
Sebelumnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Kabupaten Mesuji mencatat 13 kasus kekerasan seksual terjadi sepanjang 2023. Dari jumlah tersebut, dua di antaranya berakhir damai, sedangkan sisanya berlanjut ke meja hijau.