Bandar Lampung (Lampost.co): Hutan mangrove di Kota Karang, Telukbetung Selatan menjadi satu-satunya kawasan mangrove di Bandar Lampung, tetapi kondisinya makin memprihatinkan. Sampah yang menumpuk mencemari seluruh area, bahkan warga menemukan banyak plastik ketika mereka menggali tanah.
Ketua Kelompok Peduli Mangrove Kota Karang, Alimuddin, mengenang masa ketika areal tersebut rimbun dan bersih. Warga memanfaatkan kawasan itu untuk mencari ikan kecil dan kepiting.
“Lokasi mangrove yang kita lihat sekarang dulu menjadi tempat kami bermain. Kami membantu orang tua menggalang perahu nelayan ketika terang bulan dan menangkap kepiting,” ujar Alimuddin.
Kini masyarakat menyaksikan kondisi yang miris. Sampah plastik mendominasi pencemaran, baik yang dibuang warga sekitar maupun yang terbawa sungai dan arus laut. Tumpukan itu menghambat pertumbuhan mangrove baru.
“Banyak pihak menanam mangrove di sini, tetapi mereka menempatkan bibit di lokasi yang sama sehingga mangrove itu tidak tumbuh,” kata Ali.
Melihat masalah tersebut, Ali bersama warga mendapat pendampingan dari Mitra Bentala dan mulai merawat areal itu. Mereka melakukan kegiatan floating untuk memetakan titik yang membutuhkan perawatan intensif.
“Ke depan, kalau ada penanaman lagi, kita sudah tahu lokasi yang tepat, bukan di titik yang sama,” ujarnya.
Kelompok Peduli Mangrove Kota Karang juga rutin menggelar maintenance dua kali setiap bulan untuk memantau kondisi mangrove dan mengidentifikasi hambatan pertumbuhannya.
Evaluasi
Melalui pemantauan itu, mereka mengevaluasi kondisi setiap tanaman dan mencari solusi ketika menemukan mangrove yang mati. Upaya tersebut meningkatkan tingkat ketahanan mangrove hingga mencapai 95 persen.
“Ketika kami menemukan mangrove yang mati, kami melakukan perbaikan, memasang bronjong dan waring untuk menahan sampah plastik serta gelombang laut,” jelasnya.
Agar kawasan itu berkembang lebih jauh, Ali berharap mendapat dukungan untuk menjadikannya destinasi wisata eco mangrove. Menurutnya, gagasan itu akan menjadikan Kota Karang memiliki satu-satunya wisata eco mangrove di Bandar Lampung.
“Kami bermimpi mengubah areal ini menjadi destinasi eco mangrove dengan jalur tracking seperti yang ada di Desa Sidodadi Pesawaran,” ujar Alimuddin.
Ia menilai pengembangan kawasan itu akan memperkuat ekonomi warga. Selain mengelola lokasi wisata, warga bisa menjual kuliner ataupun oleh-oleh kepada pengunjung.
“Upaya ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang memiliki usaha kuliner atau oleh-oleh,” katanya.
Bank Sampah
Selain merawat mangrove, warga juga mengaktifkan bank sampah bernama Baskora (Bank Sampah Kota Karang). Berbeda dengan kelompok peduli mangrove yang didominasi laki-laki, Baskora beranggotakan para ibu rumah tangga.
Ketua Baskora, Sulastri, menjelaskan bahwa bank sampah tersebut baru berusia dua bulan. Mereka memulai kegiatan dengan 11 nasabah dan kini melibatkan 50 warga.
Melalui Baskora, ibu-ibu berupaya mengurangi sampah plastik agar tidak mencemari pesisir dan kawasan mangrove. Mereka juga memperoleh pendapatan tambahan dari aktivitas tersebut.
“Kami tidak hanya menerima sampah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk bernilai ekonomi,” kata Sulastri.
Sulastri bersama para anggota juga mengedukasi warga tentang pengelolaan sampah. Mereka bahkan menyasar sejumlah sekolah di wilayah pesisir untuk meningkatkan kesadaran pelajar terhadap isu lingkungan.
“Kami melihat kesadaran warga meningkat setelah menerima edukasi,” ujarnya.








