Bandar Lampung (Lampost.co) — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai Konferensi Para Pihak (COP) 30 di Brasil belum menghasilkan terobosan nyata dalam mengatasi krisis iklim global. Menurut Walhi, forum internasional itu justru menegaskan kegagalan kolektif dunia menahan laju pemanasan global di bawah ambang batas 1,5 derajat Celsius.
Poin Penting:
-
Walhi menilai COP 30 gagal hasilkan langkah konkret atasi krisis iklim.
-
Negara-negara dinilai gagal menahan pemanasan global di bawah 1,5°C.
-
Indonesia untuk memperkuat kebijakan hukum lingkungan dan perlindungan hutan adat.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menilai pernyataan para pemimpin dunia di COP 30 menunjukkan pengakuan tidak langsung atas kegagalan moral dan politik global.
“Para pemimpin dunia mengakui upaya selama ini belum cukup untuk menahan kenaikan suhu global. Kegagalan mencapai target 1,5 derajat Celsius adalah kegagalan bersama,” ujar Uli dalam konferensi pers, Sabtu, 8 November 2025.
Baca juga:
Krisis Iklim Belum Jadi Prioritas Utama
Uli juga menjelaskan pengakuan tersebut seharusnya menjadi titik balik bagi komunitas global untuk menyusun langkah yang lebih progresif. Namun, COP 30 belum menghadirkan pendekatan baru dalam menghadapi krisis iklim.
Agenda mitigasi dan adaptasi masih berkutat pada intervensi di sektor hilir, seperti skema penyerapan karbon melalui konservasi hutan atau penerapan teknologi co-firing biomassa. Skema itu, menurut Walhi, tetap menempatkan perubahan iklim dalam kerangka bisnis yang berorientasi pada keuntungan.
“Bisnis tetap berjalan selama ada mekanisme offset karbon. Padahal, yang dibutuhkan bukan keseimbangan angka, tetapi perubahan paradigma ekonomi global yang masih bertumpu pada pertumbuhan tanpa batas,” katanya.
Walhi Dorong Ekonomi Berbasis Alam
Walhi juga menegaskan tanpa perubahan paradigma ekonomi, kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim tidak akan efektif. Selain itu, pembangunan harus beralih dari ekonomi berbasis pertumbuhan menuju ekonomi yang berakar pada keseimbangan alam.
Uli mencontohkan konsep ekonomi nusantara yang Walhi tawarkan. Model ini menempatkan daya dukung lingkungan dan kebutuhan manusia secara seimbang, dengan pembatasan terhadap produksi serta konsumsi berlebihan.
“Ekonomi nusantara menolak eksploitasi tanpa batas. Kami ingin ekonomi yang menjaga keseimbangan antara alam dan manusia,” ujar Uli.
Komitmen Indonesia Belum Konkret
Dalam forum COP 30, Indonesia melalui utusan presiden menegaskan komitmen memperkuat penegakan hukum lingkungan dan pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat dalam empat tahun ke depan.
Namun, Walhi menilai komitmen itu belum memiliki landasan kebijakan nasional yang kuat. Hingga kini, belum ada indikator jelas yang menjamin pemulihan lingkungan dan perlindungan hak masyarakat.
“Yang terjadi justru pengalihan tanggung jawab. Kasus sawit ilegal, misalnya, pengelolaannya tanpa ada proses pemulihan lingkungan,” ujarnya.
Walhi juga menilai target 1,4 juta hektare hutan adat terlalu kecil dengan potensi 25 juta hektare hutan adat di Indonesia. Selain itu, proses pengakuan administratif yang rumit berpotensi menghambat realisasi janji pemerintah.
Kritik Dokumen SNDC
Lebih jauh, Walhi juga mengkritik penyusunan second nationally determined contribution (SNDC) yang tidak partisipatif. “Tidak ada jaminan partisipasi publik penuh dalam penyusunan SNDC. Tanpa keterlibatan masyarakat, sulit memastikan target iklim tercapai,” kata Uli.
Ia juga menyoroti target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen yang justru kontraproduktif terhadap upaya pengurangan emisi karbon. Pertumbuhan yang bergantung pada ekspansi industri dan energi akan memperbesar tekanan terhadap sumber daya alam dan mempercepat deforestasi.
“Tidak mungkin kita bicara pertumbuhan tinggi tanpa memperbesar eksploitasi hutan dan ruang hidup rakyat,” ujarnya.








