Jakarta (Lampost.co) – Perkara korupsi Harvey Moeis tata niaga timah di PT. Timah Tbk 2019-2022 masih bergulir pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Beberapa tersangka telah menerima vonis hukuman dalam kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp.300 Triliun.
Sementara Vonis hakim bagi para tersangka dinilai mencederai keadilan. Pasalnya, para tersangka tervonis hukum lebih ringan daripada tuntutan Jaksa. Seperti yang terjadi pada Harvey Moeis yang hanya menerima hukuman 6,6 tahun dari tuntutan jaksa 12 tahun.
Kemudian putusan ini, alih-alih memberikan efek jera dan mencerminkan keadilan. Justru menimbulkan banyak pertanyaan pada masyarakat. Terutama bagi pihak yang terugikan, seperti PT. Timah sebagai BUMN yang menjadi representasi kepentingan negara dan rakyat.
Hal itu tersampaikan Pakar Hukum Tata Kelola Pertambangan Timah Firdaus Dewilmar. Ia menjelaskan keputusan ini sangat jauh dari tuntutan jaksa dan mencederai keadilan masyarakat.
“Putusan ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat. Pengadilan seharusnya memberikan hukuman sebanding dengan kerugian. Hal ini penting agar memberikan efek jera. Bahwa tidak ada tempat bagi tindakan korupsi dalam sistem yang seharusnya melindungi kepentingan publik,” katanya.
Kemudian lebih lanjut terjelaskannya. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merugikan negara secara langsung. Dan berdampak luas pada perekonomian serta kesejahteraan masyarakat.
Sementara pada Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Itu mengamanatkan hukuman maksimal bagi koruptor, apalagi jika kerugian negara besar.
“Hukuman ringan yang terjatuhkan menunjukkan lemahnya penegakan hukum dalam kasus ini. Hal ini berpotensi menciptakan preseden buruk dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi,” katanya.
Pulihkan Kerugian Negara
Hal lain yang tersoroti Dr. Firdaus Dewilmar, ialah tentang barang bukti yang terampas untuk negara. Menurutnya, seyogyanya barang bukti terkembalikan kepada negara dalam hal ini PT. Timah. Hal ini merupakan upaya untuk memulihkan kerugian negara.
Kemudian dalam perkara ini, barang bukti yang terperoleh dari tindak pidana, seharusnya kembalikan kepada PT. Timah. Karena PT. Timah, sebagai BUMN, memiliki peran strategis dalam pengelolaan sumber daya negara. Kerugian yang teralami PT Timah adalah kerugian negara secara langsung.
Lalu ia menjelaskan, jika barang bukti tidak kembalikan kepada PT. Timah. Ini sama saja dengan mengabaikan prinsip pemulihan kerugian negara. Sebagai entitas yang menjadi korban dalam kasus ini, PT. Timah berhak mendapatkan pengembalian aset untuk memastikan bahwa kerugian yang terderita dapat terminimalisir.
“Barang bukti seyogIanya kembalikan kepada PT. Timah sebagai representasi negara setidaknya untuk biji timah atau balok timahnya. Karena kalau terampas untuk negara berarti nanti terlelang. Masak PT. Timah beli barang yang memang milik PT. Timah,” katanya.
Kemudian Firdaus menyebutkan, keadilan tidak hanya tentang menghukum pelaku. Tetapi juga memulihkan kerugian yang tertimbulkan. Dalam kasus ini, putusan hakim yang terasa ringan dan tidak mempertimbangkan pengembalian kerugian negara. Justru mencederai rasa keadilan masyarakat.
Selain itu, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu mengevaluasi putusan ini. Untuk memastikan bahwa prinsip keadilan dan kepastian hukum benar-benar tertegakkan. “Kami minta secara tegas kepada Jaksa Penuntut Umum untuk segera Banding atas putusan pengadilan tersebut,” tegasnya.
Kemudian hal lain yang harus jadi perhatian terantaranya dampak kerusakan lingkungan yang terjadi secara sistematik. “Dampak lingkungan jangan sampai terabaikan siapa yang bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Tentu setidak-tidaknya ada peran dari mereka sebagai pelaku kejahatan. Dan harus bertanggung jawab untuk memulihkannya,” pesannya.
Lalu menurutnya, kasus Harvey Moeis seharusnya menjadi momentum bagi lembaga peradilan. Terlebih untuk menunjukkan komitmen dalam memberantas korupsi, bukan sebaliknya. Jika putusan ini terbiarkan, maka ini akan melemahkan kepercayaan publik. Terhadap institusi hukum dan memberikan ruang bagi pelaku korupsi untuk terus merongrong negara.
Kemudian sudah saatnya pengadilan melihat korupsi sebagai ancaman nyata terhadap masa depan bangsa. Hukuman berat dan pengembalian kerugian negara adalah dua hal yang tidak dapat ternegosiasikan. Ini untuk menciptakan efek jera bagi para koruptor.