
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lampung
Kebebasan pers di Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Laporan Freedom House 2025 memperkirakan indeks kebebasan pers Indonesia merosot ke angka 55-57 dari skala 100. Hal ini berarti masuk dalam kategori “sebagian bebas”. Jika kekerasan terhadap jurnalis dan dominasi oligarki media terus dibiarkan tanpa penanganan serius, kebebasan pers di Indonesia akan semakin terkikis. Realitas ini tercermin dalam kasus yang menimpa Ismail M. Adam (Ismed), jurnalis CNN Indonesia TV, yang mengalami kekerasan fisik oleh Kepala Desa Cot Setui, Aceh, saat meliput inspeksi fasilitas kesehatan.
Sepanjang 2023, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 87 kasus kekerasan terhadap jurnalis, jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir. Yang lebih ironis, 32% dari pelaku kekerasan berasal dari aparat negara, pihak yang seharusnya bertugas melindungi kebebasan pers. Fenomena ini tidak hanya menjadi ancaman bagi para jurnalis, tetapi juga bagi demokrasi Indonesia secara keseluruhan.
Sejarah Kelam Kebebasan Pers di Indonesia
Kondisi kebebasan pers saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang relasi antara pers dan kekuasaan di Indonesia. Pada era Orde Lama (1950-1965), pers menjadi alat propaganda politik meskipun Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 tentang Penerbitan Pers memberikan ruang kebebasan yang terbatas. Kondisi memburuk di masa Orde Baru (1966-1998), ketika pemerintah menerapkan Sistem Izin Terbit (SIT) dan mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk membungkam media yang kritis. Akibatnya, lebih dari 200 media ditutup pasca-Peristiwa Malari 1974.
Memasuki era Reformasi (1998-sekarang), kebebasan pers mulai mendapatkan perlindungan hukum melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, implementasinya masih terhambat oleh warisan otoritarianisme serta dominasi oligarki dalam industri media. Tragedi pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), jurnalis Bernas yang dibunuh pada 1996 karena menginvestigasi korupsi pejabat daerah, menjadi simbol lemahnya perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia.
Anatomi Kekerasan terhadap Jurnalis
Kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia memiliki pola tertentu. Berdasarkan data AJI (2023), para pelaku kekerasan terdiri dari aparat negara (32%), preman bayaran (28%), serta massa tidak terorganisir yang termobilisasi oleh isu SARA atau hoaks (25%). Bentuk kekerasan yang paling umum adalah pemukulan dan perampasan alat peliputan (45%), intimidasi digital seperti doxing dan ancaman melalui media sosial (30%), serta kriminalisasi hukum melalui UU ITE dan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP (25%).
Dampak dari kekerasan ini berlapis. Efek ketakutan atau chilling effect membuat 70% jurnalis daerah mengaku melakukan sensor diri setelah menerima ancaman, sebagaimana yang ditemukan dalam survei LBH Pers tahun 2023. Ketika pers takut mengungkap kebenaran, korupsi semakin merajalela. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa korupsi APBD di daerah meningkat 27% di wilayah yang minim liputan investigatif. Selain itu, lemahnya kebebasan pers juga berkontribusi pada meningkatnya disinformasi, terutama menjelang Pilkada 2024, ketika hoaks politik semakin sulit untuk dikendalikan karena minimnya liputan independen.
Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan terhadap Jurnalis
Salah satu penyebab utama maraknya kekerasan terhadap jurnalis adalah inkonsistensi dalam penegakan hukum. Meski UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur perlindungan bagi jurnalis, regulasi lain seperti UU ITE sering kali digunakan untuk mengkriminalisasi mereka. Selain itu, banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diabaikan karena adanya intervensi politik, terutama ketika pelaku memiliki hubungan dengan pejabat daerah yang berkuasa.
Faktor lain yang memperburuk kondisi ini adalah oligarki media. Kepemilikan media yang terkonsentrasi di tangan segelintir elite dengan afiliasi politik tertentu menyebabkan pemberitaan menjadi bias atau bahkan disensor secara internal. Hal ini mengurangi ruang bagi jurnalisme investigatif dan mempersempit akses masyarakat terhadap informasi yang objektif.
Selain itu, budaya kekuasaan yang anti-kritik turut memperburuk situasi. Survei SETARA Institute (2023) terhadap 500 pejabat daerah menunjukkan bahwa 67% pejabat menganggap kritik dari pers sebagai sesuatu yang berlebihan, 45% enggan memberikan akses informasi kepada jurnalis, dan 28% bahkan pernah mengancam media dengan pencabutan iklan pemerintah.
Solusi untuk Menjaga Kebebasan Pers
Untuk mengatasi ancaman terhadap kebebasan pers, beberapa langkah harus segera diambil. Reformasi regulasi diperlukan, termasuk penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perlindungan Jurnalis yang mengadopsi model Journalist Protection Act dari Amerika Serikat. Selain itu, revisi terhadap UU ITE harus dilakukan agar pasal-pasal yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis dapat dihapus.
Edukasi publik dan aparatur negara juga menjadi faktor kunci dalam menjaga kebebasan pers. Pemerintah perlu mengadakan pelatihan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) agar mereka memahami pentingnya kebebasan pers. Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberikan pendidikan literasi media agar lebih memahami hak dan fungsi jurnalis dalam demokrasi.
Penguatan infrastruktur keamanan bagi jurnalis juga tidak kalah penting. Sistem pelaporan digital harus dikembangkan untuk memungkinkan jurnalis melaporkan kasus kekerasan secara real-time. Selain itu, perlu adanya safe house bagi jurnalis yang menghadapi ancaman serius agar mereka bisa bekerja dengan lebih aman.
Mobilisasi gerakan publik juga harus didorong untuk menekan pemerintah agar lebih serius dalam melindungi kebebasan pers. Koalisi Pers Merdeka yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis dapat menjadi kekuatan utama dalam kampanye melawan kekerasan terhadap media. Selain itu, crowdfunding bisa menjadi solusi untuk membangun dana abadi yang dikelola AJI guna membantu korban kekerasan pers.
Kebebasan Pers sebagai Pilar Demokrasi
Jika Indonesia gagal melindungi jurnalis, demokrasi kita akan terus terjebak dalam status “sebagian bebas”, selangkah menuju otoritarianisme. Hari Pers Nasional 2024 harus menjadi momentum untuk menekan pemerintah agar segera mengesahkan RUU Perlindungan Jurnalis yang telah lama tertunda.
Sebagaimana yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Pers yang bebas adalah suara yang tidak bisa dibungkam oleh kekuasaan apa pun.” Mari pastikan suara itu tetap bergema.