
Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK
“Mau korupsi, bayar polisi Mau gusur rumah, bayar polisi Mau babat hutan, bayar polisi Mau jadi polisi, bayar polisi…” polri
Kalimat tersebut merupakan penggalan lirik lagu dari Sukatani yang berjudul Bayar, Bayar, Bayar. Lagu yang sempat diumumkan bersamaan dengan permintaan maaf kedua personel Sukatani kepada Kapolri dan Institusi Polri melalui media sosial instagram. Bahkan, mereka mengaku diintimidasi polisi sejak Juli 2024. Puncaknya, pada Februari 2025, personel Sukatani itu mengaku didatangi, dipaksa membuat video permintaan maaf, mengungkap identitas mereka, hingga menarik karya.
Dari perlakuan intimidasi yang mereka perlakukan kepada Band Sukatani, sebenarnya sudah terlihat bahwa ada nilai yang sengaja dipertahankan oleh Institusi Polri, yaitu nilai anti kritik, anti mendengarkan, anti mengakui kesalahan, anti merenungi kesalahan, dan selalu mencari justifikasi pembenaran atas tindakan yang dilakukan.
Padahal, dari lagu Bayar, Bayar, Bayar sebenarnya adalah tuntutan masyarakat yang selama ini resah terhadap Institusi Kepolisian, singkatnya masyarakat menuntut, “Perbaiki, Perbaiki, Perbaiki!”
Bukan sekali, dua kali, atau tiga kali, ada berita buruk dari Institusi Kepolisian, bahkan bisa dikatakan masyarakat muak dari jeleknya tindakan dari oknum aparat Kepolisian. Menjadi pelaku korupsi banyak, menjadi pelaku penembakan terhadap masyarakat sipil banyak, pelaku penembakan sesama aparat juga banyak, pelaku pemerkosaan juga ada, oknum perwira menengah penyuka sesama jenis juga pernah ada, hingga pelaku tindakan anarkis juga kerap terjadi, bahkan yang baru-baru ini terjadi adalah yang sangat menyayat hati masyarakat menjadi oknum pelaku pencabulan terhadap anak berumur 3 (tiga) tahun.
Bayangkan seorang Oknum Kapolres Ngada, NTT menjadi pelaku pencabulan terhadap tiga anak di bawah umur. Hingga videonya tayang atau terpublikasi di situs porno Australia. Bahkan, tidak hanya itu, ia juga terbukti positif menggunakan narkoba setelah menjalani pemeriksaan tes urine.
Dengan dipublikasinya ke situs porno di Australia, tentu tindakan tersebut merupakan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sangat menyakiti hati masyarakat, seorang Oknum Kapolres di Ngada, melakukan tindak pidana sangat berat yang notabene merupakan seorang pejabat dari Institusi Kepolisian yang seharusnya menjadi penegak hukum dan memberikan rasa aman dan mengayomi masyarakat.
Kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual, memiliki dampak jangka panjang yang sangat merusak. Korban tidak hanya mengalami trauma fisik, tetapi juga psikologis yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional, sosial, dan kognitifnya di masa depan. Kasus ini juga merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) oleh orang yang menjadi penyelenggara negara dan aparat penegak hukum.
Anak-anak, sebagai kelompok yang paling rentan, memiliki hak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi.
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia menegaskan bahwa negara wajib menjamin perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Sebelum menjabat sebagai seorang Kapolres, mulai dari pendidikan awal, gaji, tunjangan, fasilitas, dan jabatan yang dia terima semua berasal dari rakyat. Parahnya lagi, Kapolres bukanlah sebata aparat biasa saja, namun lebih dari itu, dia menjadi pimpinan dari seluruh aparat Kepolisian di suatu wilayah kabupaten/kota. Kapolres yang seharusnya menjadi teladan bagi seluruh aparat, justru menjadi contoh yang sangat buruk. Bagaimana mungkin prinsip tone of the top bisa jalan, jika dari atas saja tidak bisa menjadi teladan.
Mungkin, kalau Jenderal Hoegeng masih hidup sampai saat ini, mungkin dia akan meminta Kepolisian lebih baik bubar saja. Karena institusi yang seharusnya memberikan rasa aman kepada masyarakat, ternyata semakin mengancam dan menindas masyarakat. Saya pribadi sangat sedih dengan kenyataan ini. Ada seorang oknum Kapolres Ngada yang mencabuli 3 orang anak di bawah umur. Bayangkan, seorang Kapolres lho!
Kepolisian di Pusaran Mafia dan Korupsi
Tidak hanya itu, sudah menjadi rahasia umum juga bahwa mafia hukum masih bercokol kuat dalam tubuh kepolisian. Dari kasus manipulasi perkara, penyalahgunaan wewenang, hingga perlindungan terhadap kelompok-kelompok kriminal, semuanya menunjukkan bahwa institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum justru menjadi bagian dari permasalahan. Beberapa kasus besar yang mencuat ke publik, seperti kasus Ferdy Sambo yang mengungkap bagaimana praktik kekuasaan absolut dalam tubuh kepolisian, membuktikan bahwa penyakit korupsi dan kejahatan lainnya masih mengakar kuat.
Praktik setoran kepada atasan demi jabatan atau kewajiban membayar ‘uang keamanan’, kepada aparat oleh pelaku usaha telah menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Para pengusaha kecil hingga besar harus menanggung biaya ekstra hanya untuk ‘berdamai’ dengan system, yang akhirnya menekan pertumbuhan usaha dan menghambat penciptaan lapangan kerja.
Ketika hukum bisa dibeli dan keadilan tunduk pada kepentingan segelintir elit, yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat kecil dan dunia usaha.
Banyak pengusaha yang akhirnya memilih hengkang atau enggan berinvestasi karena ketidakpastian hukum. Investor asing pun menjadi ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena sistem hukum yang lemah dan praktik pungli yang merajalela.
Di berbagai negara dengan sistem hukum yang kuat, investor merasa lebih aman karena kepastian hukum terjamin oleh negara. Namun, di Indonesia, investor harus berhadapan dengan regulasi yang tumpang tindih, pungutan liar dari oknum aparat. Serta mafia hukum yang bisa mengubah jalannya perkara sesuai kepentingan tertentu. Akibatnya, iklim usaha di Indonesia menjadi tidak kondusif dan pertumbuhan ekonomi pun terhambat.
Waktunya Polri Bertobat!
Dari beberapa kasus di Institusi Kepolisian belakangan ini yang sangat mencolok mencuri perhatian masyarakat, seharusnya Kapolri berbenah dari dalam. Sebagai pertanyaan, “Pak Kapolri, apakah anda pribadi sebagai seorang yang lahir dari rakyat tidak resah dengan banyaknya kasus yang terjadi? Apakah Bapak tidak melihat beragam kasus ini bahwa kesalahan belakangan bukan hanya sebatas kesalahan individu. Namun ada persoalan struktural yang sangat mengakar?” Tentu, pertanyaan demikian berkorelasi dengan ‘tanda tanya besar,’ terhadap psikologi dan mental aparat kepolisian.
Komisi III DPR RI harus mengawal kasus sampai tuntas, sampai pelaku mempertanggungjawabkan di meja hijau. Komnas Anak dan KPAI juga harus melibatkan diri lebih dari sekadar menuntaskan kasus ini. Namun memastikan tidak terulang lagi dilakukan oleh aparat hingga penyelenggara negara lainnya.
Kompolnas juga jangan jadi ‘macan ompong,’ yang mengawasi kinerja Kepolisian sebatas formalitas saja.
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi dan PPATK harus menelisik harta kekayaan dari Eks Kapolres Ngada tersebut. Karena dari perbuatan pencabulan, narkoba, hingga indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang. Maka perlu melihat dari sisi pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Sebagaimana dalam pasal 2 UU TPPU huruf c dan l, yaitu tindak pidana asal pencucian uang berasal dari narkotika hingga perdagangan orang.
Dari berbagai kasus yang telah terjadi seharusnya menjadi alarm bagi institusi kepolisian untuk melakukan reformasi internal. Institusi kepolisian harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anggotanya layak mengenakan seragam dan menjalankan tugas dengan integritas dan kehormatan.
Polri membutuhkan pertobatan institusional. Pertobatan ini bukan sekadar perbaikan citra atau pencitraan semata, melainkan reformasi total dalam sistem rekrutmen, pengawasan, dan budaya kerja.
Tidak boleh ada lagi budaya “Asal Bapak Senang” (ABS) yang justru membuat atasan buta terhadap perilaku bawahannya.
Sekaranglah waktunya Polri bertobat! Reformasi di tubuh kepolisian tidak boleh lagi hanya menjadi sekadar wacana yang berdengung setiap kali ada kasus besar. Pembersihan internal harus secara menyeluruh, dengan menyingkirkan oknum-oknum yang mencoreng nama baik institusi. Jika Polri benar-benar ingin kembali mendapatkan kepercayaan rakyat, maka reformasi harus serius dan berkelanjutan. Hukum harus tegak dengan adil, tanpa ada lagi perlakuan istimewa bagi aparat yang bersalah. Saatnya Polri berbenah, saatnya Polri bertobat!
Kalau dari berbagai kasus ini tidak cukup menyatakan bahwa Institusi Kepolisian sedang tidak baik-baik saja. Maka kita teringat lagi dengan kalimat dari Gus Dur, “Hanya ada 3 polisi jujur di negara ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.”