Topo Santoso Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
BEBERAPA waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan kegelisahannya tentang problem menahun negeri ini, yakni korupsi. Di hadapan para aparatur sipil negara (ASN), Presiden Prabowo menyatakan korupsi sebagai tantangan terbesar Indonesia. Khusus terkait korupsi, Presiden bahkan berencana mendirikan penjara koruptor di pulau terpencil dan berharap vonis berat bagi pelaku pencuri uang negara.
Kegelisahan Presiden Prabowo tentu terasa wajar mengingat tren korupsi di Indonesia memiliki kecenderungan naik dalam beberapa tahun terakhir. Hasil Pemantauan Tren Korupsi 2023 yang dilakukan ICW, misalnya, melansir tren korupsi pada 2019-2023 menunjukkan konsistensi naik, baik dari sisi jumlah kasus maupun tersangka.
Laporan tersebut juga mengkritik tidak optimalnya strategi pemberantasan korupsi yang mengedepankan penindakan oleh aparat penegak hukum.
Dari tiga instansi aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi, kejaksaan masih konsisten menunjukkan tren positif. Sementara itu, instansi lain, yakni Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi, belum menunjukkan kinerja serupa. Namun, seiring dengan semakin menghangatnya wacana revisi KUHAP, ada isu yang memancing respons kritis masyarakat, yakni terkait dengan ‘hilangnya’ kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Atas nama konsep diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP, seolah kewenangan kejaksaan hanya terbatas pada penuntutan.
Menguji Eksistensi Jaksa Sebagai Penyidik
KUHAP secara prinsipiel telah mengatur pembagian fungsi, tugas, dan wewenang aparat penegak hukum, sebagian pihak menyebutnya ‘diferensiasi fungsional’. KUHAP menegaskan penyidik ialah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu, tugas jaksa ditegaskan sebagai penuntut umum.
Ada juga yang mencoba menafsirkan secara semantik. Diksi jaksa dalam bahasa Inggris, yakni prosecutor, diartikan seolah tugas dan kewenangan jaksa hanya menuntut (to prosecute).
Implikasinya, pendapat itu menggiring opini seolah tugas penyidikan hanya dimiliki penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).
Harus diakui, revisi KUHAP telah menjadi kebutuhan yang mendesak guna merespons perkembangan yang terjadi dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, serta putusan Mahkamah Konstitusi. Sumber hukum pidana materiel bukan hanya KUHP, melainkan sudah lahir lebih dari 10 UU pidana khusus yang di dalamnya juga mengatur sebagian segi formal (acara pidana) secara lex specialis. Dengan demikian, sumbernya bukan hanya KUHP, melainkan juga UU pidana khusus dan UU sektoral (UU administratif) yang memuat ketentuan pidana.
Sebagai ketentuan yang bersifat khusus, berbagai segi hukum acara pidana di luar KUHAP yang sejatinya melengkapi KUHAP, termasuk adanya penyidik jaksa, KPK, dan lain-lain. Itu tidak bisa dipandang sebagai penyimpangan norma ataupun harus dihapuskan atau disesuaikan dengan KUHAP. Dengan kata lain, adanya penyidik di luar penyidik Polri dan PPNS, yang diatur di luar KUHAP harus dipandang sebagai ketentuan yang khusus, sehingga sesuai dengan prinsip lex specialis derogat legi generali. Adanya penyidik di luar Polri dan PPNS itu tetap berlaku, bahkan perlu ditegaskan eksistensinya dalam revisi KUHAP.
Sekurangnya ada lima alasan di balik politik hukum mengapa kejaksaan diberi kewenangan penyidikan, yakni checks and balances, expertise and resources, public confidence and impartiality, mempercepat proses (streamlining the process), dan pengetahuan yang khusus dan fokus.
Di tengah kinerja kejaksaan dan kepercayaan publik yang semakin meningkat, juga telah ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi ialah konstitusional. Sebagaimana dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, bahwasanya pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus atau tertentu, termasuk korupsi, telah memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan memberikan perlindungan hak asasi sekalipun terhadap tersangka.
Kelemahan Mekanisme Prapenuntutan
Prapenuntutan (yang dipandang jalan Tengah dalam perdebatan rigid penyidikan dan penuntutan) sebagaimana diatur dalam KUHAP tidak sepenuhnya efektif. Hal itu disebabkan desain hubungan koordinasi yang terpisah antara penyidik dan penuntut umum. Otomatis, penuntut umum kehilangan kendali untuk mengawasi dan mengarahkan jalannya penyidikan agar penuntutan berhasil. Penyidikan tanpa arahan aktif penuntut umum sering kali berujung pada berlarut-larutnya proses penyidikan.
Terkait prapenuntutan, terdapat perkara-perkara yang penyidikannya tidak diberitahukan kepada penuntut umum, berkas perkara yang bolak-balik, atau banyaknya berkas yang tidak pernah dikirim pada jaksa setelah dikembalikan pada penyidik. Kondisi demikian tentu sangat merugikan masyarakat sebab banyak perkara tindak pidana yang terjadi tidak terselesaikan. Padahal, salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana ialah menyelesaikan tindak pidana yang terjadi sehingga setiap perkara harus ada akhirnya.
Pembaruan KUHAP
Dalam upaya menanggulangi kejahatan di setiap negara keterpaduan di antara para penegak hukum merupakan suatu hal yang sangat penting. Bahkan ketiadaan keterpaduan merupakan salah satu faktor penyebab gagalnya pemberantasan kejahatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegagalan atau ketidaksempurnaan proses penyidikan yang dilakukan penyidik dapat merupakan awal gagalnya proses penuntutan.
Tidak hanya itu, tidak adanya keterpaduan antara penyidik dan penuntut umum, juga menyebabkan penuntut umum kurang menguasai perkara secara substantif. Sebab selama penyidikan, penyidik seolah bekerja sendiri, sedangkan jaksa seperti tinggal menunggu. Tanpa dapat terlibat lebih jauh dalam proses penyidikan.
Oleh karena itu, pembahasan revisi KUHAP mendatang harus mampu menyelesaikan persoalan pelik itu.
KUHAP mendatang harus mampu memperbaiki relasi dan keterpaduan, penyidik dan penuntut umum, khususnya koordinasi polisi dan jaksa. Jangan sampai, baik jaksa maupun polisi, bekerja di ‘dunia’ mereka sendiri dan tidak ada relasi yang cukup untuk saling mengimbangi. Terlebih di tengah wacana semakin meningkatnya superioritas lembaga tertentu dalam melakukan penyidikan.
Dalam hal ini, ide penyidikan dan penuntutan yang berada dalam satu atap atau di bawah kendali penuntut umum menarik untuk dibicarakan. Sebab keberhasilan tahapan penuntutan tidak lepas dari keberhasilan penyidikan. Itu termasuk penguatan eksistensi jaksa melakukan penyidikan atas tindak pidana yang kompleks seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Juga tindak pidana ekonomi sehingga efisiensi penyidikan kasus tindak pidana, sekalipun rumit, dapat ditingkatkan.
TrionoDirektur INKOL Inisiatif TAK terasa Ramadhan telah mengantarkan kita dihari-hari penghujungnya. Di sepuluh akhir ramadhan ini baik siang ataupun malamnya...
HerimirhanKetua MGMP PAI Kota Bandar Lampung, Pengiat Forum Guru Motivator Penggerak Literasi (FGMPL), Pengurus APKS PRGI Prop.Lampung, Pengajar di SMP...