
Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
PENYEBARAN Islam di Nusantara merupakan proses panjang yang penuh dengan dinamika sosial, budaya, dan politik. Salah satu daerah yang memiliki sejarah Islamisasi menarik adalah Lampung, yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatra. Masuknya Islam ke Lampung tidak terlepas dari peranan ulama yang menyebarkan dakwah Islam dengan penuh kearifan, serta mampu mengakomodasi adat istiadat lokal yang telah mengakar dalam masyarakat.
Di antara para penyebar Islam itu, ulama-ulama dari Banten memegang peranan penting dalam proses Islamisasi yang tidak hanya berfokus pada pengajaran agama, tetapi juga mengembangkan harmoni antara ajaran Islam dan budaya Lampung. Walau bukti-bukti tertulis dan arkeologis mengenai siapa dan kapan tepatnya Islam masuk ke Lampung masih samar dan sulit dilacak, keberadaan makam-makam ulama dari Banten di Lampung menjadi bukti otentik tentang peran mereka dalam menyemai Islam di bumi Sang Bumi Ruwa Jurai.
Proses penyebaran Islam di Lampung bukanlah proses instan atau dipaksakan. Melainkan berlangsung secara bertahap melalui dakwah yang mengedepankan nilai-nilai kultural dan spiritual.
Salah satu tokoh utama dalam proses ini adalah Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sultan Hasanuddin sekaligus pendiri Kesultanan Banten abad ke-16. Menurut beberapa tradisi lisan dan manuskrip kuno, Sunan Gunung Jati pada sekitar tahun 1525 M melakukan ekspedisi dakwah ke wilayah Lampung. Hubungan politik dan dagang antara Banten dan Lampung menjadi pintu masuk yang efektif untuk memperkenalkan Islam.
Perdagangan lada yang menjadi komoditas utama Lampung telah mempererat hubungan kedua wilayah ini, menjadikan dakwah Islam sebagai bagian dari interaksi sosial-ekonomi yang saling menguntungkan (baca juga, lamppost 18/03/25). Keberhasilan Sunan Gunung Jati dan para penerusnya dalam menyebarkan Islam tidak hanya pada aspek pengajaran agama, tetapi juga pada pembentukan identitas keislaman yang bersanding harmonis dengan nilai-nilai adat Lampung.
Pada awal abad XVIII, Tubagus Mahdum, seorang ulama dari Banten yang memiliki garis keturunan Sultan Hasanuddin, aktif menyebarkan Islam di daerah Teluk Betung.
Dalam dakwahnya, Tubagus Mahdum menekankan pentingnya amalan Alquran, terutama surat Yasin sebagai bagian dari ritual keagamaan masyarakat. Beliau dikenal sebagai pengembara yang menempuh berbagai wilayah dalam upaya menyebarkan Islam. Namun, nasib tragis menimpa Tubagus Mahdum, beliau dibunuh oleh penjahat di pesisir Teluk Betung pada akhir abad XVIII. Makamnya yang berada di Kuala, Teluk Betung Selatan, kini menjadi saksi bisu perjuangannya.
Kompleks makam yang menyerupai rumah ini juga menyimpan peninggalan-peninggalan beliau, dan hingga kini tetap dirawat sebagai situs sejarah dan spiritual masyarakat sekitar (Febriadi, Maskun, & Wakidi, 2019). Sosok Tubagus Mahdum mencerminkan bagaimana ulama Banten berjuang menyebarkan Islam dengan menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya yang telah lama hidup di tengah mereka.
Warisan dakwah ulama Banten berlanjut pada abad XX, salah satunya melalui sosok Tubagus Yahya.
Seperti pendahulunya, Tubagus Yahya juga berasal dari Banten dan merupakan keturunan Sultan Hasanuddin. Beliau berdakwah di daerah Teluk Betung, Bandar Lampung, dan dikenal dengan metode dakwah melalui pengajian yang menjangkau masyarakat dari berbagai kalangan. Tubagus Yahya meninggal pada tahun 1930 akibat sakit, dan dimakamkan di Jln. Banten, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Teluk Betung Barat. Sampai saat ini, makam beliau ramai dikunjungi oleh peziarah, tidak hanya dari Lampung. Tetapi juga dari Banten, Cianjur, Indramayu, bahkan Kalimantan. Momentum ziarah yang meningkat menjelang Ramadhan menunjukkan bahwa Tubagus Yahya bukan hanya dihormati sebagai ulama. Tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai spiritual masyarakat.
Selain tokoh-tokoh tersebut, tercatat nama-nama ulama Banten lain yang turut memberikan kontribusi dalam Islamisasi Lampung. Seperti Syeikh Maulana Alim al-Madinah (1700), Tubagus Ali Fakih, Tubagus Sangkrah, Wali Samin bin Muhammad, dan Syeikh Nambihi. Masing-masing dari mereka memiliki peran tersendiri dalam menanamkan ajaran Islam di berbagai wilayah Lampung. Uniknya, dakwah mereka tidak pernah bertentangan dengan adat dan budaya lokal. Justru, mereka mengangkat nilai-nilai luhur adat sebagai instrumen dakwah yang memperkuat penerimaan Islam.
Dengan demikian, penyebaran Islam di Lampung tidak bersifat konfrontatif, tetapi dialogis dan inklusif.
Penting juga menjadi catatan bahwa Islamisasi Lampung tidak hanya oleh ulama dari luar. Tetapi juga oleh tokoh lokal seperti Minak Kemala Bumi atau juga Minak Pati Pejurit. Minak Kemala Bumi adalah putra dari raja Kerajaan Tulang Bawang, Tuan Rio Mangku Bumi. Pada tahun 1554, ia mendapat undangan Sultan Banten untuk belajar Islam dan akhirnya memeluk Islam dengan nama Haji Pejurit Hidayatullah. Ia kemudian menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di Mekkah, sebelum kembali ke Lampung untuk mengajarkan ajaran Islam kepada rakyatnya(Akip, 1980).
Perjalanan spiritual Minak Kemala Bumi mencerminkan integrasi antara kekuasaan lokal dan otoritas keagamaan. Sekaligus menunjukkan keberhasilan dakwah Islam dalam merangkul tokoh-tokoh adat (Muhtarom, 2018). Transformasi Minak Kemala Bumi dari seorang bangsawan menjadi ulama lokal memperkuat legitimasi Islam. Yakni sebagai agama yang selaras dengan nilai-nilai masyarakat Lampung.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa proses Islamisasi Lampung tidak bisa lepas dari peran ulama Banten. Mereka dengan sabar dan bijak menanamkan ajaran Islam di tengah masyarakat yang memiliki tradisi dan adat yang kuat. Mereka tidak datang untuk mengubah budaya, tetapi untuk membimbingnya agar sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kearifan dalam dakwah ini menjadi kunci keberhasilan Islam mengena di hati oleh masyarakat Lampung hingga saat ini.
Meskipun masih sulit untuk menemukan data pasti mengenai waktu dan tokoh pertama yang membawa Islam ke Lampung, keberadaan makam dan tradisi dakwah ulama Banten menjadi bukti konkret jejak Islamisasi tersebut.
Ke depan, warisan dakwah ini perlu terus digali dan dikaji secara akademis. Agar menjadi rujukan bagi pengembangan dakwah yang lebih kontekstual di era kini. Di tengah tantangan modernisasi dan globalisasi, pendekatan kultural yang telah dilakukan oleh ulama Banten dalam dakwahnya menjadi inspirasi. Terutama untuk membangun masyarakat Islam yang inklusif dan berakar pada budaya lokal.
Kearifan mereka dalam merangkul budaya adalah teladan yang layak berwaris. Bahwa Islam tidak datang untuk menghapus jati diri suatu masyarakat, melainkan untuk menyempurnakannya. Inilah pelajaran berharga dari jejak ulama Banten di bumi Lampung.