
Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
Bertepatan dengan peringatan Hari Jadi Provinsi Lampung ke-61 tahun, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal (masa bakti 2025-2030) menetapkan Wan Abdurachman (1901-1969) sebagai Pahlawan Daerah Lampung. Keputusan ini berdasarkan kajian sejarah oleh tim riset UIN Raden Intan Lampung pada tahun 2024-2025. Hasil kajian tersebut diajukan kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) pada Oktober 2024 untuk dianalisa lebih lanjut.
Setelah melalui proses verifikasi yang sangat ketat, TP2GD merekomendasikan bahwa Wan Abdurachman memenuhi syarat sebagai Pahlawan Daerah. Rekomendasi ini dibahas oleh Dewan Gelar Daerah (DGD) Provinsi Lampung dalam Focus Group Discussion (FGD) di Dinas Sosial Provinsi Lampung pada 24 Februari 2025, yang menghasilkan kesepakatan bulat mengenai kelayakan tokoh ini.
Hasil diskusi tersebut menjadi dasar pertimbangan Gubernur sebelum disahkan melalui surat keputusan.
Dengan demikian, jelas bahwa gelar Pahlawan Daerah Lampung lahir dari hasil kajian ilmiah sejarah dan ditetapkan oleh Gubernur. Lalu, siapakah Wan Abdurachman? Bagaimana kontribusinya bagi perjuangan bangsa Indonesia di tingkat daerah dan nasional? Tulisan ini akan mencoba menjawabnya.
Mengenal Wan Abdurachman
Wan Abdurachman, yang lahir di Teluk Betung pada 29 Ramadhan 1318 H (29 Januari 1901), adalah putra Wan Muhammad Arsyad atau Wan Haji Muhammad Said (dari Putidoh Cukubalak) dengan Incik Roffiah (dari Singapura, Kalianda). Dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama.
Pada dirinya mengalir darah pahlawan (hulubalang) dan juru dakwah dari kakeknya, Wan Abbas bin Wan Yusuf, dari Kesultanan Terengganu (Malaysia). Kakenya tiba Putidoh Cukubalak dalam abad ke-19. Kehadirannya di Lampung tak lepas dari ketidakpuasan terhadap praktik kolonialisme Inggris yang mewajibkan rakyat membayar pajak.
Demi mempertahankan idealisme dan keselamatan jiwanya, ia dan saudaranya terpaksa meninggalkan Terengganu dengan sebuah perahu yang membawa mereka tiba di Lampung.
Bila kakeknya tidak suka dengan kolonialisme Inggris di Terengganu abad ke-19, maka Wan Abdurachman tidak senang dengan kolonialisme Belanda di Indonesia pada awal abad ke-20. Kedunya tidak rela negerinya dijajah oleh bangsa Barat (Eropa).
Kalau kakeknya giat berdakwah di Putidoh dan sekitarnya di Lampung, maka Wan Abdurachman giat berjuang di Lampung dan tingkat nasional berlandaskan nilai-nilai Islam. Sejak usia 18 tahun, ia telah bergabung dengan organisasi pergerakan nasional berasaskan Islam, yakni Sarekat Islam (SI) di Teluk Betung hingga puncak karirnya di tingkat nasional sebagai ketua fraksi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Dewan Konstituante (1956-1959). Jadi selama 40 tahun (dari 68 tahun usianya) ia berkhidmat sebagai aktivis PSII.
Lewat jalan politik, Wan Abdurachman bertemu dan terhubung dengan pemikiran para pendiri bangsa dari PSII terutama HOS Tjokroaminoto, sebagai Bapak PSII dan Guru Bangsa, serta A.M. Sangaji, Haji Agus Salim, Moh. Rum, dan SM. Kartosoewirdjo. Gagasan sosialisme Islam, yang menjadi landasan pergerakan SI/PSII, menyatu dalam pikiran dan langkah perjuangan Wan Abdurachman, dari tingkat daerah sampai tingkat nasional.
Untuk merekonstruksi sejarah tokoh ini, penulis membaginya dalam tiga babak yaitu: memperjuangkan kemerdekaan (1919-1945), mempertahankan kemerdekaan (1945-1950), dan mengisi kemerdekaan (1951-1959).
Memperjuangkan Kemerdekaan
Setelah 11 tahun sebagai anggota PSII, ia dipercaya menjadi ketua PSII Lampung. Pada masanya, PSII berkembang pesat di Lampung. Cabangnya meliputi 15 daerah yaitu: Teluk Betung, Kotabumi, Menggala, Gunungterang, Margaketibung, Negara Batin, Pagardewa, Punduh, Sabu, Legundi, Putih Doh, Pedada, Menang, Pulau Tabuan, dan Selebu.
Pada tahun 1936, PSII mengadakan rapat umum di Teluk Betung. Ketika Vice Presiden Kartosoewirdjo menyampaikan pidatonya, maka datanglah polisi Belanda yang ingin membubarkan rapat. Klaim Belanda karena dapat mengganggu stabilitas keamanan. Namun, berkat usaha Wan Abdurachman, Kartosoewirdjo dapat menyelesaikan pidatonya. Kejadian ini meninggalkan kesan baik bagi pemimpin PSII pusat.
Peran Wan Abdurachman tidak hanya di Lampung, tetapi juga meluas sampai Palembang. Pada tahun 1940, ketika pemerintah kolonial melakukan kriminalisasi hukum dan menangkap sejumlah aktivis PSII di sana, ia berani tampil menjadi membela mereka di hadapan pengadilan kolonial.
Oleh sebab itu, ia dijuluki sebagai “Pahlawan Islam dari Lampung.”
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), ia menjalankan gerakan bawah tanah untuk mengingatkan rakyat Lampung agar tidak mudah terperdaya oleh propaganda Jepang yang mengklaim diri sebagai “Pelindung Asia”. Padahal, segala upaya Jepang itu sebenarnya adalah untuk mempertahankan diri di Indonesia menghadapi Perang Pasifik melawan Blok Sekutu.
Mempertahankan Kemerdekaan
Saat berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tiba di Lampung, Wan Abdurachman segera menyatakan dukungan penuh terhadap pembentukan pemerintahan RI di daerah. Ia mendapat kepercayaan sebagai Bupati Istimewa Lampung (1945) dan Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Lampung yang pertama (1945-1947).
Berlatar pengaruh yang kuat di Lampung, ia kemudian menjadi Wakil Komandan Daerah Militer Lampung dan Palembang Selatan. Dengan pangkat Letkol Tituler, mendampingi Kolonel Syamaun Gaharu, pada masa Agresi Militer Belanda II (1948).
Guna mempertahankan kemerdekaan, ia memperkuat partisipasi umat Islam dengan menginisiasi pembentukan Lasykar Hizbullah dan Sabilillah. Organisasi ini berkembang pesat di Teluk Betung, Pringsewu, dan Sukadana di bawah bimbingan KH Gholib dan KH Ahmad Hanafiah.
Laskar-laskar ini berusaha mempertahankan Lampung dan Palembang dari ancaman Belanda yang ingin merebut kembali kemerdekaan Indonesia melalui Agresi Militer.
Pasca revolusi, karier politik Wan Abdurachman kian melejit, setelah terpilih sebagai anggota dan kemudian Ketua DPR Provinsi Sumatera Selatan (1950-1952). Selain itu, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta (1951) dan anggota Dewan Partai PSII di Jakarta. Lewat dua wadah terakhir, ia merambah arena politik nasional di dua kota penting, sebelum memasuki kota penting yang ketiga di Indonesia, Bandung.
Mengisi Kemerdekaan
Puncak karier Wan Abdurachman adalah lewat Pemilu pertama tahun 1955, ketika terpilih sebagai anggota Konstituante di Bandung dengan tugas utama merumuskan konstitusi baru. Di lembaga ini, ia menduduki sejumlah posisi strategis, antara lain Ketua Panitia Perancang Konstitusi. Bahkan, ia dua kali menjadi calon Wakil Ketua Konstituante. Semua itu mencerminkan pengaruh dan keluasan pergaulannya di lembaga yang beranggotakan 544 orang dari seluruh Indonesia.
Sebagai Ketua Fraksi PSII, Wan Abdurachman memainkan peran penting dalam menyuarakan aspirasi umat Islam bersama dengan dua partai besar Islam, yakni NU dan Masyumi, serta Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Perti). Dalam konteks ini, ia sangat giat memperjuangkan sosialisme Islam sebagai dasar negara. Sebagaimana dirumuskan oleh H.O.S Tjokroaminoto dalam bukunya, “Islam dan Sosialisme”, sebagai acuan anggota PSII di Konstituante.
Sosialisme Islam mengedepankan persaudaraan dan persamaan derajat antara sesama manusia, seperti dalam shalat berjamaah di masjid, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, serta ibadah haji di Makkah.
Semua orang pada dasarnya sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan di antara mereka adalah ketakwaannya.
PSII memerangi kapitalisme mulai dari benihnya sampai akarnya. Kapitalisme bukan saja saja kejahatan dalam kehidupan manusia, tetapi juga mendapat ancaman Allah SWT dengan siksa dunia dan akhirat. Islam memang mewajibkan setiap orang bekerja keras, namun tidak boleh memanfaatkan hasil kerja orang lain secara tidak adil. Karena hal itu mengarah pada praktik kapitalisme (riba).
Usaha Wan Abdurachman mengisi kemerdekaan secara konstitusional pun terhenti setelah pemerintah (melalui Perdana Menteri Ir. Djuanda) dan Presiden meminta kepada seluruh anggota Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengumumkan pembubaran Dewan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa Wan Abdurachman adalah tokoh Lampung. Beliau yang sangat konsisten memperjuangkan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia dengan gagasan politik Islam.
Ia berpegang teguh pada gagasan sosialisme Islam yang diwarisi dari H.O.S. Tjokroaminoto.
Sepuluh tahun setelah pensiun dari Konstituante, Wan Abdurachman menghabiskan masa tuanya bersama keluarga hingga wafat di Jakarta pada 1 Mei 1969. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, berdampingan dengan istrinya, Incik Aisah.
Mengingat dedikasi dan perjuangannya, sudah sepantasnya ia dihormati dan diberi gelar Pahlawan Daerah Lampung oleh Gubernur Lampung. Semoga semangat perjuangannya menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam memajukan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih gemilang.