Bandar Lampung (Lampost.co) — Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan isu ditambahnya jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 akan membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efektif. Ia melihat ini hanyalah gagasan yang muncul bagaimana bagi-bagi kekuasaan akan menjadi jauh lebih besar ke depan.
.
“Ini bagi saya tidak efektif. Beberapa negara yang sistem kabinetnya lebih efisien hanya membagi menteri menjadi 11 – 15 kementerian,” kata Feri, mengutip Medcom.id, Kamis, 9 Mei 2024.
.
Pusat studi konstitusi pernah mengusulkan pada tahun 2013-2014 bahwa kabinet sebaiknya hanya 26 menteri. Beberapa menteri akan membawahi beberapa kementerian.
.
“Ini bukan soal menumpuk kekuasaan pada satu menteri tertentu. Melainkan soal efektifnya proses penyelenggaraan negara yang kami pikirkan ketika itu. Kalau kemudian ada 26 menteri, dan 26 kementerian, kemudian beberapa kementerian bergabung, itu akan memberikan berbagai excess luar biasa,” ujarnya.
.
Salah satunya, dengan terleburnya kementerian. Maka akan berimbas ke birokrasinya, seperti kop suratnya berganti, lambang pada depannya berganti, nomenklatur lain-lainnya berganti. Itu, menurut Feri akan memberikan beban keuangan negara.
.
“Kami mempertimbangkan, jumlah kementerian tetap 34. Tetapi kementerian itu ada 1 menteri yang mendapat tugas membawahi satu atau dua kementerian. Syaratnya, ia harus mampu mengefektifkan agar kerja kementerian di bawah secara teknis tidak bertabrakan,” kata Feri.
.
Ia mengungkapkan, konsep para menteri itu berbeda dalam berbagai sistem pemerintahan. Membahas sistem presidensial dan kabinetnya, Indonesia memiliki catatan mengenai kabinet tersebut.
.
Catatan
.
Feri mengatakan, catatan soal kabinet Indonesia cukup panjang. Antara lain Kabinet 100 menteri, yang kurang lebih memperlihatkan promo betapa tidak efektifnya proses penyelenggaraan pemerintahan. “Itu teranggap sebagai catatan sejarah soal pembentukan kabinet Indonesia pada era Presiden Soekarno,” kata Feri.
.
Catatan lainnya, pada era Presiden Soeharto, memang tidak sampai ke 100 menteri. Tetapi catatannya lebih banyak kepada mendominasi kekuasaan. Era Soeharto, para menteri betul-betul mengejawantahkan sudut pandang rezim ketika itu dan tidak ada inovasi. Yang ada adalah memastikan kekuasaan itu lebih dominan.
.
“Makanya pada era Soeharto timbul executive heavy, punya kecenderungan kekuasaan lebih berat kepada kekuasaan eksekutif,” katanya.
.
Padahal dalam konsep pembagian cabang kekuasaan mestinya ada perimbangan. Parlemen juga akan menjadi “rival” dari eksekutif dalam memastikan kehendak dan daulat rakyat bisa berjalan. “Ini juga bagian dari tugas para menteri,” kata Feri.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT