Jakarta (Lampost.co) – Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menilai. Diskursus mengenai sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) terbuka yang terpilih secara langsung oleh rakyat maupun tertutup lewat perwakilan DPRD. Keduanya tak menyalahi sistem demokrasi dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
“Kita tidak bisa (melihatnya) hitam putih. Dua-duanya, hidup pada ranah Pancasila. Dulu, zaman tertutup, itu atas nama demokrasi Pancasila. Sekarang demokrasi yang sangat liberal, ini juga dalam alam Pancasila. Kita tidak memiliki variabel mana yang lebih Pancasilais,” katanya, Kamis, 18 Desember 2024.
Kemudian menurut Willy, sejauh ini Bangsa Indonesia masih belum bisa menentukan sistem pilkada atau pemilu yang lebih pancasilais. Namun, ia mengatakan bahwa Bung Karno sebagai salah satu tokoh perumus Pancasila. Tidak menginginkan demokrasi terjalani dengan gontok-gontokan.
“Bung Karno lebih memilih musyawarah dan mufakat yang namanya sosio-demokrasi. Kalau itu berbicara pada variable substantif yang bernama sosio-demokrasi. Kita sudah menikmati demokrasi yang mewah seperti ini,” ujar Willy.
Partai NasDem
Lalu atas dasar itu, politisi Partai NasDem ini menyarankan kepada para pengambil kebijakan dan akademisi politik. Untuk bersama merumuskan sistem pilkada mendatang secara tepat berdasarkan riset dan kondisi Tanah Air. Dari riset tersebut, menurutnya, sistem politik bakal berdasarkan kebutuhan Bangsa Indonesia untuk bertahun-tahun ke depan
“Apa yang paling tepat untuk kita lakukan adalah riset base. Saya menawarkan dua perspektif. Yang pertama, negara kita kekuatannya adalah dialog. Dan semua sistem politik itu adalah common consensus, konsensus bersama. Ayo kita duduk bersama,” katanya.
Selanjutnya Willy juga menegaskan bahwa ide perubahan sistem pemilihan kepala daerah tidak bisa tereksekusi secara terburu-buru. Ia menekankan perlu kajian mendalam sebelum mengambil keputusan perubahan sistem pilkada tersebut.
“Termasuk lembaga-lembaga riset harus ikut meneliti. Kenapa selama ini orang untuk pilkada bisa menghabiskan uang banyak untuk survei elektabilitas dan popularitas. Sistem politik yang akan menanggung kita bersama. Kita tidak berani riset untuk spending luar biasa. Jadi saya mengajak Nasdem berpikiran untuk riset base,” katanya.
Untuk itu, ia mengajak berbagai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari berbagai universitas seIndonesia untuk membahas sistem pemilu ke depan. Katakan bahwa semua pihak perlu menggelar survei walaupun nantinya tak berarti menjadi sebuah keputusan.
“Sebelum ada penyesalan, empat tahun ke depan nggak ada pemilu, jadi ini nggak mendesak-mendesak amat. Kita butuh tarik nafas, kita butuh riset, negara maju itu berbasis riset,” katanya.