DUGAAN korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018—2023 memasuki babak baru. Kali ini aparat hukum memanggil eks Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Salah satu isu yang hangat dari megakorupsi tersebut adalah pengoplosan BBM. Kegaitan kotor ini jelas menimbulkan kerugian masyarakat sebagai konsumen, mencapai Rp190 triliun per tahun. Karena sudah berlangsung selama 5 tahun maka estimasi kerugian masyarakat mencapai Rp1 kuadriliun.
Namun, dalam pemeriksaannya sebagai saksi, Ahok justru mengungkap bahwa kasus ini lebih dalam dari masalah pengoplosan Pertamax. Kasus megakorupsi Pertamina mengungkap praktik kejahatan terstruktur dan sistematis dari hulu ke hilir. Hal ini jelas jauh lebih merugikan dibandingkan isu BBM oplosan. Selama periode 2018 hingga 2023, serangkaian tindakan melawan hukum terjadi, mencakup kecurangan dalam tender, mark up biaya impor.
Juga ada dugaan korupsi lainnya, yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun (sekitar US$12 miliar) .
Para tersangka megakorupsi Pertamina yakni Riva Siahaan selaku Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin selaku Dir Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional. Kemudian, Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi selaku pejabat di PT Pertamina International Shipping, dan Muhammad Kerry Adrianto Riza selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa.
Selanjutnya, Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim dan Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jenggala Maritim. Kemudian Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne selaku VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga.
Mereka mengabaikan regulasi yang mengharuskan Pertamina memprioritaskan pembelian minyak mentah domestik, dan malah memilih impor dengan biaya tinggi.
Alasannya, minyak mentah domestik tidak memenuhi spesifikasi kilang, meskipun bukti menunjukkan sebaliknya.
Selain itu, Pertamina International Shipping terindikasi melebih-lebihkan biaya transportasi minyak mentah hingga 13%-15%, yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Investigasi juga mengungkap bahwa Pertamina Patra Niaga mencampur BBM. Yakni bensin bersubsidi Ron 90 (Pertalite) dengan bensin berkualitas lebih tinggi Ron 92 (Pertamax) dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.
Tindakan para tersangka melanggar UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU 20/2001. Praktik rasuah tikus berdasi di tubuh Pertamina bisa terjadi karena ada celah sebagai pemegang pasar utama. Juga transaksi dengan volume besar menciptakan margin yang signifikan. Margin yang besar itu bisa saja berbagi untuk siapapun di dalam Pertamina.
Kemudian, faktor sikap pemerintah terhadap kasus korupsi ini juga sangat memengaruhi. Adanya backing atau perlindungan dari pihak-pihak berpengaruh membuat praktik korupsi Pertamina semakin menjadi-jadi.
Alhasil, megakorpsi ini hanya tentang menerapkan modus lama dengan pemain baru.
Megakorupsi ini jangan sampai menjadi ritual 5 tahunan, budaya bongkar pasang alias habis bongkar ganti pemain baru. Perbaiki sistem secara menyeluruh. Kasus ini merupakan peringatan keras bahwa tanpa upaya serius perbaikan budaya kerja. Jelas praktik korupsi akan terus menggerogoti keuangan negara dan merugikan masyarakat luas. Bongkar habis sindikat mafia Pertamina