Jakarta (Lampost.co)—Jumlah korban tewas akibat gempa bumi dahsyat Myanmar berkekuatan magnitudo 7,7 hingga Kamis, 3 April 2025, lebih dari 3.000 orang. Selain itu ribuan warga lainnya mengalami luka-luka.
Poin Penting:
- Gempa Myanmar berkekuatan magnitudo 7,7 yang terjadi pada Jumat, 28 Maret 2025.
- Gempa menyebabkan 3.085 orang telah dikonfirmasi meninggal, sementara 341 orang masih hilang dan 4.715 lainnya luka-luka.
- Kota emas Mandalay menjadi wilayah yang paling parah
Menurut laporan AFP, pernyataan resmi dari juru bicara junta militer Myanmar menyebutkan bahwa sebanyak 3.085 orang telah dikonfirmasi meninggal, sementara 341 orang masih hilang dan 4.715 lainnya luka-luka akibat gempa yang terjadi pada Jumat, 28 Maret 2025.
Mandalay Jadi Pusat Duka
Kota Mandalay, yang dulunya terkenal dengan sebutan Kota Emas karena keindahan budaya dan situs wisatanya, kini berubah menjadi wilayah penuh kehancuran. Mandalay menjadi salah satu kota terdampak paling parah, dengan lebih dari 2.700 korban jiwa dan 4.521 orang terluka, seperti dikutip dari BBC pada Rabu, 2 April 2025.
Baca Juga: Mengapa Gempa Myanmar Mematikan? Ini Penyebab dan Dampaknya
Bau menyengat akibat jenazah yang menumpuk kini memenuhi udara Mandalay. Kondisi krisis membuat kremasi massal menjadi satu-satunya pilihan untuk menangani korban yang terus berdatangan.
Upaya evakuasi korban gempa di bawah reruntuhan bangunan terus terlaksana oleh banyak pihak, termasuk relawan.
Warga Putus Asa Berebut Bantuan Makanan
Di Sagaing, kota terdekat dengan episentrum gempa, warga korban gempa berebut bantuan makanan dan kebutuhan pokok. Relawan membagikan air, beras, minyak goreng, hingga obat nyamuk kepada para korban yang sudah berhari-hari hidup dalam kondisi darurat.
“Saya belum pernah antre seperti ini hanya untuk dapat makanan. Saya sangat khawatir,” ujar seorang ibu muda, Cho Cho Mar (35), sambil menggendong bayinya.
Banyak keluarga kehilangan anggota tercinta. Seorang mahasiswi bernama J mengisahkan bagaimana jenazah bibinya baru berhasil terevakuasi dari reruntuhan dua hari setelah gempa. Seorang pendeta, Ruate, juga menceritakan trauma anaknya yang berusia 8 tahun akibat menyaksikan kehancuran di lingkungannya.
Infrastruktur yang buruk dan konflik sipil berkepanjangan memperlambat proses evakuasi dan distribusi bantuan. Survei Geologi AS memperkirakan jumlah korban bisa mencapai lebih dari 10.000 jiwa, mengingat skala kerusakan dan keterbatasan akses ke wilayah terpencil.
Gencatan Senjata dan Hari Berkabung Nasional
Sebagai respons atas bencana ini, junta militer Myanmar mengumumkan gencatan senjata sementara dengan kelompok pemberontak demi mempercepat penyaluran bantuan. Pihak pemberontak sebelumnya juga telah menyatakan hal serupa.
Myanmar juga mengadakan minggu berkabung nasional, termasuk mengheningkan cipta selama satu menit, menurunkan bendera setengah tiang, dan menghentikan siaran media untuk menghormati para korban.