Bandar Lampung (Lampost.co) — Kasus wafatnya mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila), Pratama Wijaya Kesuma masuk ranah hukum. Korban dugaan penganiayaan itu mengalami kekerasan saat pendidikan dasar (Diksar) Unit Kegiatan Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (Mahepel) Unila.
Kasus tersebut resmi masuk ranah Polda Lampung. Dengan nomor laporan LP/B/384/VI/2025/SPKT Polda Lampung, Selasa, 3 Juni 2025. Wirna Warni (40), warga Rajabasa Bandar Lampung, ibu dari korban melaporkan perkara ini dengan pasal 351 dan 170 KUHP.
“Saya berharap para pelaku mendapat hukumqn seberat-beratnya” ujar ibu korban, di Mapolda Lampung.
Kemudian ia menjelaskan dalam kronologi pelaporan, anaknya mengikuti Diksar pada 14–17 November 2024. Setelah mengikuti Diksar, korban pulang ke rumah mengeluh sakit, lemas dan pingsan. Selanjutnya, Wirna membuka pakaian anaknya, dan terdapat luka memar sekujur badan korban. Korban pun bercerita jika mengalami kekerasan oleh sejumlah senior selaku panitia, dan alumni.
Ancaman Pembunuhan
Selanjutnya Wirna membawa anaknya ke Puskesmas Rajabasa Indah (RBI). Lalu akhirnya korban bercerita kepada Wirna tentang penganiayaan tersebut. Namun meminta tidak menceritakan kepada orang lain, karena anaknya mendapat ancaman pembunuhan. Tapi sang anak tidak menceritakan secara spesifik, siapa yang mengancamnya.
“Saya ajak berobat ke RBI, saya ajak ke rumah sakit. Ia bilang nggak mau, karena nyawanya terancam,” katanya.
“Nanti ketahuan mama, kita pulang aja. Mama jangan ngomong-ngomong, kalau mama sayang Udo (anaknya), mama jangan cerita, nyawa aku diancam. Nanti akan diincar mama, mau dibunuh” ujar Wirna sambil menirukan cerita anaknya.
Kemudian Wirna menjelaskan, saat mengikuti diksar. Selain mengalami luka-luka, anaknya juga mengalami kejang otot. Sempat menjalani perawatan, hingga akhirnya meninggal dunia pada 28 April 2025 kemarin.
Selanjutnya Wirna menyebut, usai Diksar selesai. Anaknya minta jemput. Sesampainya di rumah, sang anak pun pingsan berkali-kali dan mengalami luka, terutama tangannya. “Saya sempat foto luka-lukanya. Banyak sekali. Tangan kirinya kram. Kukunya copot,” katanya
Ketika berobat di RBI, sang anak dirujuk menuju Rumah Sakit Bintang Amin Bandar Lampung. Lalu terujuk menuju RSUD Abdul Moeloek. Pada saat itu, salah satu dokter yang menangani, menyebut sang anak telah mengalami luka pada bagian syaraf.
“Dokter syaraf bilang ini sudah kena syarafnya. Kenapa terbiarkan, katanya. Saya bilang anak saya nggak mau berobat karena katanya nyawanya terancam,” katanya.
Lalu, ketika menjalani operasi di RSUD Abdul Moeloek pada 27 April 2025. Dari hasil pemindaian, menunjukkan adanya gumpalan darah dan cairan yang tidak lancar pada otaknya. Ia pun membantah kalau anaknya memiliki riwayat penyakit tumor otak.
“Jadi saya membantah pernyataan dari pihak kampus yang menyebut anaknya meninggal akibat tumor otak. Dari kecil anak saya sehat, paling batuk pilek,” katanya.
Bantahan Mahepal Unila
Sementara itu, Pihak Mahepel Unila membantah tudingan tersebut. Melalui Kuasa hukum pihak Mahepel Unila, Candra Bangkit menyebut, Mapel melakukan pelaksanaan Diksar mulai dari Oktober hingga November 2025.
Lalu panitia sangat ketat sesuai dengan SOP melaksanakan kegiatan. Mahepel menurutnya, mengedepankan kehati-hatian dan profesionalisme untuk mendapat izin dari kampus.
Kemudian Mahepel membantah adanya upaya kekerasan secara terorganisir. Mahapel menyebut tidak ada kekerasan dari tahapan administrasi, hingga pelaksanaan pendidikan dasar 14–17 November 2024.
“Kami tidak menampik ada luka lebam dan lian-lain, itu bukan dari kekerasan fisik pukulan ataupun apa dari Mahepel. Tapi dari perjalanan alam, ketumbur waktu ngerayap, kena pohon dan lain-lain,” katanya.
Lalu terkait soal isu korban meminum spirtus, menurutnya terjadi ketika para peserta sedang memasak. Saat itu, korban salah mengambil minum, namun tidak sampai terminum, langsung termuntahkan. “Itu juga dari peserta” katanya.
Selanjutnya menurut Bangkit, pihaknya bersama Mahepel berduka terhadap peristiwa ini, dan tidak ingin menimbulkan konfrontasi. Bangkit menyebut, saat pelaksanaan diksar 17 November 2024, seluruh peserta sehat secara fisik, dan pihak Mahepel memiliki bukti dokumentasi.
Keluhan
Kemudian pada 19 November 2024 terdapat agenda pencucian alat, dan agenda rapat syukuran anggota baru, dan Pratama pun hadir. Tiga hari kemudian, pada 22 November 2024, Pratama tetap hadir, dan tidak mengalami keluhan. Namun, yang mengalami keluhan, peserta lainnya yakni Fariz, yang mengalami keluhan pada telinga.
“Kawan-kawan Mahepel ada bantu keringanan biaya. Saudara Fariz bukan pecah gendang telinga, tapi infeksi karena bakteri, ini ada rekam medisnya. Karena pelatihan itu ada pendidikan airnya, ketika itu kemungkinannya terjadi.
Mahepel bertanggung jawab dan bertemu dengan orang tuanya, dan kejadian November. Lalu pada 12 Desember 2024, dekanat sudah memanggil, dan hasilnya ada kelalaian. Karena tidak adanya tim medis, SOP nya harus ada tim medis pada acara” katanya.
Selanjutnya dari informasi Mahepel, almarhum Pratama mulai sakit dari 10–26 Maret 2025. Sehingga ia menepis, isu almarhum mengalami sakit sejak acara rampung. “Jadi harus sama-sama duduk bareng. Karena almarhum masih beraktifitas pada Februari 2025, Mahepel juga melakukan takziah dan lainnya” katanya.
Lalu soal isu jalan jauh hingga 15 jam. Namun, tidak serta merta berjalan tidak berhenti, ada istirahat, makan dan lain-lainnya. “Jadi jalan kakinya itu 5-6 jam,” katanya.